V. Keluarga Borgia dalam Perspektif
Tahun-tahun yang memberikan pengaruh terbesar pada keluarga Borgia (1435-1520) dapat dihubungkan pada suatu periode paling penting dalam sejarah Eropa. Periode itu adalah jaman Renaissance, permulaan jaman Eksplorasi dan jaman berbagai penguasa besar, artis-artis dan penulis-penulis yang mempengaruhi Jaman Modern kita.
Jaman Borgia dimulai dari jaman Joan of Arc (tahun 1430) dan berikutnya pengusiran orang-orang Inggris dari Prancis, Perang Salib-Perang Salib terakhir (tahun 1460), dan berakhir (waktu meninggalnya Lucrezia) dengan Cortez si penakluk Mexico. Itu semua meliputi periode the War of the Roses (Perang Mawar) di Inggris dan perjuangan-perjuangan diantara para penguasa Prancis, Spanyol, Portugal dan Jerman.
Jaman itu penuh dengan kejadian-kejadian bersejarah. Saat itu adalah jaman keluarga Medici yang agung di Florence, yaitu para pelindung dan penyokong seni termasyhur yang menjadi lambang Renaissance. Jaman yang berlangsung dari akhir Abad Pertengahan (Medievalism, dalam pengertian paham dan pemikiran) menuju permulaan Abad Reformasi. Hal ini berarti lebih dari apa yang bisa dipahami seseorang secara intelektual.
Sedikit dari beberapa kejadian di atas dapat diurutkan di sini :
1429 – Joan of Arc membebaskan Orleans.
1430 – Alonso Borya (Borgia), terakhir sebagai Callixtus III, lahir (tahun 1378 ?, pentj.)
1443 – Berakhirnya the Great Catholic Schism19.
1455 – Alonso Borya menjadi Paus Callixtus III.
1456 – Rodrigo Borgia menjadi Kardinal.
1456 – Rehabilitasi Joan of Arc.
1458 – Meninggalnya Paus Callixtus III.
1469 – Pernikahan Isabella dan Ferdinand.
1475 – Lahirnya Cesare Borgia.
1480 – Lahirnya Lucrezia Borgia.
1492 – Columbus menemukan Dunia Baru.
1492 – Rodrigo Borgia menjadi Paus Alexander VI.
1497 – Vasco da Gama memulai pelayaran keliling dunia.
1503 – Meninggalnya Alexander VI.
1507 – Gugurnya Cesare Borgia.
1508 – Michelangelo mulai melukis fresco di Kapel Sistine.
1517 – Martin Luther memakukan thesisnya yang menyerang indulgences20.
1519 – Meninggalnya Lucrezia Borgia.
1520 – Luther dikucilkan (excommunicatio21).
1521 – Ferdinand Cortez menaklukkan Mexico.
Terdapat berbagai kejadian penting lainnya yang dapat diisikan ke dalam kronologi ini, tahun demi tahun. Karakter-karakter yang melalui drama jaman ini adalah Machiavelli, Boccaccio, Pinturicchio, patung Pieta karya Michelangelo, lukisan Monalisa karya Da Vinci, bangunan yang sekarang menjadi St. Peter; semuanya dalam rentang waktu tidak lebih dari dua puluh tahun. Sungguh sebuah periode yang luar biasa.
Aspek yang paling sulit pada Era Borgia adalah kompleksnya peristiwa-peristiwa politik. Italia terbentuk dari sejumlah besar negara-negara kota, beberapa di antaranya adalah papal fiefdoms22. Tidak sampai pada bagian akhir abad ke sembilan belas, Italia sebagai sebuah negara bersatu akhirnya terbentuk. Sebagaimana kenyataannya, bermacam-macam “kerajaan” Italia di abad lima belas dan abad enam belas merupakan teater-teater intrik, peperangan dan campur tangan luar negeri. Pada berbagai waktu, Spanyol dan Prancis menguasai berbagai bagian Italia, aliansi-aliansi politik terbentuk dan pecah secara konstan. Lingkungan-lingkungan pengaruh dibentuk oleh perkawinan-perkawinan, seringkali digerakkan oleh para penguasa Spanyol dan Prancis, demikian juga dengan Vatikan. Yang membuat sulitnya mengenali keterlibatan Vatikan dalam hal ini adalah kenyataan bahwa para Paus tidak hanya merupakan sosok pemimpin-pemimpin spiritual, tetapi juga pemimpin-pemimpin duniawi yang seringkali lebih tertarik untuk memperoleh kekuatan politik dari pada memimpin orang-orang beriman. Perang Salib lebih merupakan pelaksanaan perluasan kekuasaan dari pada merebut kembali Tanah Suci. Kesucian menjadi nomor dua setelah pengumpulan kekayaan, yang kemudian melahirkan kekuatan politik.
Keluarga Borgia yang selanjutnya tidak merupakan pengecualian dalam pemenuhan nafsu-nafsu mereka pada kekayaan dan kepemilikan suatu daerah. Bisa dikatakan bahwa cara-cara mereka untuk memperoleh kekayaan-kekayaan itu lebih kejam dari pada para penguasa sejamannya.
Dilihat dari upaya-upaya mereka untuk Gereja, terdapat pengecualian pada beberapa anggota keluarga Borgia. Francisco Borgia, setelah membuat sejumlah anak, menjadi penyokong utama atas sebuah ordo pendeta baru, yaitu Ordo Jesuit yang didirikan oleh Ignatius Loyola, dan akhirnya dianggap sebagai orang suci karena upaya-upayanya. Terdapat sejumlah biarawati-biarawati dan kepala-kepala biara wanita yang lumayan banyak pada keluarga ini, keturunan berkelamin wanita yang diberikan kepada Gereja ketika kemampuan berunding mereka sebagai istri-istri yang memungkinkan untuk perkawinan-perkawinan politik dianggap lemah. Seorang keturunan Francisco, Catherine Braganza, menikah dengan Charles II dari Inggris, dan menolong rajanya memimpin salah satu dari beberapa istana tak bermoral dalam sejarah monarki Inggris.
Paus terakhir dari keluarga Borgia adalah seorang keturunan dari anak tertua Alexander, Isabella. Giovanni Battista Pamfili, Paus Innocent X (1574-1655, Paus dari tahun 1644-1655) adalah seorang keturunan yang terpisah waktu seratus tahun dari daftar orang-orang termasyhur keluarga Borgia, sehingga dia tidak terlalu dipengaruhi oleh warisan sifat-sifat nenek moyangnya. Daripada mengutuk Jansenism23, sebuah gerakan di dalam Gereja Katolik Prancis yang kelihatannya lebih mirip Protestan daripada Katolik, dia melanjutkan usaha-usaha para pendahulunya dalam mendukung penyebaran misi-misi ke seluruh dunia, dan mendukung sejumlah upaya-upaya artistik penting di Roma, sehingga kepausannya tidak terlalu kelihatan gemilang. Meskipun dia menunjukkan kecenderungan untuk meneruskan praktek-praktek nepotisme keluarga Borgia, dia relatif lebih lunak dalam kepatuhannya itu. Jelaslah, bahwa kelompok gen keluarga Borgia mulai melemah.
Tetapi hal-hal apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga Borgia? Dari mana reputasi-reputasi mereka berasal, khususnya reputasi Lucrezia sebagai pemimpin kelompok peracun, dan simbol seorang wanita jahat? Sebagian besar informasi tersebut dapat ditelusuri melalui sejarah (dan sebagaimana lazimnya rumor; dimodifikasi melalui percakapan dan cerita), datang dari dua buah karya tulis periode itu, dan dua buah karya fiksi abad ke sembilan belas.
Yang pertama adalah karya besar Machiavelli, The Prince (1513), sebuah petunjuk bagi para pemimpin politik yang menggunakan Alexander dan khususnya Cesare sebagai model. Cesare terpilih sebagai contoh utama kekejaman yang dibutuhkan oleh para penguasa. Buku kedua yang sejaman adalah The Journal karya Johannes Burchard, yang bukan hanya merupakan sekumpulan catatan-catatan ritual, kebiasaan-kebiasaan, dan detil-detil the Holy Office24, tetapi juga merupakan sebuah kompilasi dari kejadian-kejadian, skandal-skandal, dan rumor-rumor pada waktu itu. Sampai dengan jaman sejarah modern di akhir abad sembilan belas, dua buah buku ini merupakan sumber seluruh karya-karya lain tentang keluarga Borgia, dan mereka menyediakan dasar-dasar untuk perluasan cerita, fantasi dan rumor.
Pada tahun 1833, Victor Hugo memilih Lucrezia Borgia sebagai pahlawan wanita pada sebuah sandiwara yang disaksikan secara luas dan menuai banyak pujian. Apa yang Hugo lakukan untuk menyatakan reputasi Lucrezia dapat dilihat pada bagian Pendahuluan karyanya tersebut. Sulit dijelaskan apakah dia bercerita tentang Lucrezia atau “the Hunchback of Notre Dame” (“si Bungkuk dari Notre Dame”):
“Siapa sebenarnya Lucrezia Borgia? Ambillah sebuah karakter yang amat menyeramkan, yang amat menjijikkan, dengan cacat moral yang lengkap, lalu letakkan ia pada tempatnya yang paling pantas, di hati seorang wanita yang secara fisik cantik dengan kemuliaan kerajaan yang akan membuat semua kejahatan dilakukan secara lebih menyolok; kemudian tambahkan pada seluruh cacat moral itu perasaan seorang wanita yang paling murni yang bisa didapat, yaitu perasaan seorang ibu……. Di dalam monster tersebut kita letakkan hati sang ibu dan monster itu akan menarik perhatian kita dan membuat kita mencucurkan airmata. Dan mahluk itu akan mengisi perasaan kita dengan rasa takut akan timbulnya kasih sayang; sehingga jiwa cacat itu akan menjadi sangat indah di dalam pandangan kita……”
>>>Victor Hugo (dari Pendahuluan untuk karya sandiwaranya Lucrezia Borgia)
Karya seni fiksi lain tentang Lucrezia yang berpengaruh besar pada reputasinya adalah karya Alexander Dumas (1839) pada bukunya tentang keluarga Borgia yang berjudul “Les crimes celebres”. Pada karya ini, keluarga Borgia menjadi dikenal karena memakai racun untuk membunuh musuh-musuhnya.
Hanya ada sedikit keraguan tentang kriminalitas sang bapak, Alexander, dan sang putra, Cesare. Dan jika kita mengikutsertakan keserakahan, pemerasan dan nepotisme, maka kita dapat menambahkan sang kakek, Callixtus, untuk memperoleh paling sedikit tiga generasi jahat dalam keluarga ini (Girolamo, anak haram Cesare, bisa dipastikan seorang pembunuh).
Hal itu akan memberi kita empat generasi keluarga jahat. Adalah sangat mungkin bila Alexander menyuruh bunuh para musuhnya yang banyak, dan dapat secara aman diperkIraqan bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang diluar kemampuannya sendiri. Cesare memang membunuh dengan kehendaknya sendiri, dan meskipun dia bisa menggunakan racun, seringkali dia lebih suka menggunakan pisau, pedang dan bedil untuk membunuh.
>>>Lukisan “Lucrezia” karya Titian
Tetapi Lucrezia adalah hal yang berbeda. Dia memang seorang pengamat yang penurut dan pendukung perbuatan-perbuatan kriminal bapak dan saudara laki-lakinya. Dia dilaporkan secara akurat menjadi peserta dari tindakan-tindakan tak bermoral kedua orang dekatnya tersebut. Tidak ada petunjuk yang memberitahukan bahwa dia menyuruh keluarganya untuk menggunakan pembunuhan sebagai sebuah solusi untuk memecahkan masalah-masalah politik mereka. Hingga menjadi Duchess Ferrara, dia merupakan wanita muda yang sibuk secara seksual, dan bisa jadi sungguh-sungguh melakukan incest dengan anggota-anggota keluarganya. Mungkin dia berubah sebagaimana dia beranjak tua, atau mungkin juga karena sebab-sebab lain.
Tetapi terdapat suatu hal kecil yang menjadi dasar perkiraan bagi reputasinya sebagai model historis untuk pembunuh dengan menggunakan racun, yaitu bahwa dia merupakan “black widow”25 dari jaman Renaissance yang membuat kita percaya bahwa memang demikianlah Lucrezia adanya.
VI. BIBLIOGRAFI
Hampir semua pembahasan sejarah tentang Italia, Roma, kepausan atau Renaissance berisi beberapa informasi tentang keluarga Borgia. Seringkali laporan-laporan tersebut ringkas dan singkat, tetapi beberapa karya menyediakan sebuah titik awal bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang keluarga yang menarik ini.
Relatif sedikit dari berbagai karya tentang keluarga Borgia yang ditulis dalam bahasa Italia atau Spanyol yang sudah diterjemahkan, dan karya-karya berbahasa Inggris yang mencurahkan perhatiannya secara eksklusif pada keluarga Borgia juga amat sedikit. Yang saya masukkan ke dalam bibliografi ini hanyalah karya-karya yang saya periksa untuk mempersiapkan artikel ini. Kebanyakan buku-buku ini dicetak luas; sejumlah kecil berada pada perpustakaan umum, dan sejumlah kecil lainnya hanya dijual di toko buku bekas. Beberapa buku yang saya perkIraqan telah habis persediaannya kemungkinan dicetak ulang di tahun-tahun belakangan ini, tetapi seandainya benar, saya tidak bisa memastikan tempat cetak ulang tersebut.
The Crime Library secara terpisah merekomendasikan buku-buku saat ini karya Cloulas dan Mallett sebagai sumber-sumber yang teliti, serta dua buah buku karya Chamberlain yang sudah habis persediaannya. Novel karya Haasse, yang tersedia dalam edisi biasa, adalah sebuah reportase menarik tentang Giovanni, sang infans Romanus, dengan pandangan-pandangan yang diperluas dan dapat dipercaya tentang Cesare, Lucrezia, Vannozza, Machiavelli, dan Michelangelo. Buku ini adalah karya yang secara historis paling akurat (dalam batas-batas fiksi) dari tiga buah novel yang saya baca.
Buku-buku yang masih dicetak:
Burchard, Johann. 1993. (diedit dan diterjemahkan oleh Geoffrey Parker) At the Court of the Borgia. Folio Society.
Chastenet, Genevieve (dalam bahasa Spanyol) Lucrecia Borgia.
Cloulas, Ivan. (diterjemahkan oleh Gilda Roberts) Borgias.
Hibbert, Christopher. Rome: The Biography of a City.
Holmes, George. Oxford History of Italy.
Mallett, Michael. Borgias: The Rise & Fall of a Renaissance Dynasty.
McBrien, Richard P. Lives of the Popes: The Pontiffs from St. Peter to John Paul II.
Buku-buku yang masih dicetak lagi:
Bellonci, Maria. 1953. The Life and TIME of Lucrezia Borgia. Harcourt, Brace.
Bradford, Sarah. 1976. Cesare Borgia, His Life and TIME. Weidenfeld & Nicolson.
Chamberlain, E.R. 1969. The Bad Popes. Dorset.
Chamberlain, E.R. 1974. The Fall of the House of Borgia. Dial Press.
Fugero, Clemente. 1972. The Borgias. Praeger.
Latour, Anny. 1966. The Borgias. Abelard-Shuman.
Novel-novel tentang Keluarga Borgia:
Haasse, Hella. (diterjemahkan oleh Anita Miller). Scarlet City.
Holland, Celia. 1979. City of God. Knopf.
Maugham, W. Somerset. 1946. Then and Now. Doubleday.
Puzo, M. 2001. The Family. HarperCollins (sebuah novel yang dikarang oleh penulis The Godfather tentang Keluarga Borgia).
Russel Aiuto
Russell Aiuto adalah seorang pensiunan pendidik. Dia adalah seorang profesor biologi, dengan spesialisasi pada genetika, seorang dekan, pembantu rektor dan seorang rektor sebuah college. Dia mempunyai gelar BA untuk bidang teater dari University of Michigan, gelar BA untuk biologi dan sastra Inggris dari Eastern Michigan University, serta gelar MA dan Ph.D untuk bidang genetika dan botani dari the University of North Carolina. Sesudah karir akademisnya di Albion College (MI) dan Hiram College (OH), dia menjadi seorang direktur divisi pada the National Science Foundation, direktur riset dan pengembangan pada the National Science Teachers Association, dan senior project officer pada the Council of Independent Colleges.
Sebagai seorang penulis non-fiksi, dia sudah mempublikasikan dua belas buah research paper dalam bidang genetika, lima buah textbook sains, sejumlah artikel di bidang sains pendidikan, literatur dan kritik, serta menjadi editor sebuah revisi kurikulum sains nasional. Publikasi fiksinya termasuk dua buah cerpen, tujuh buah sandiwara, dan sebuah novel. Di waktu senggangnya dia suka memasak, bepergian dan mengadakan pertunjukan di kelompok-kelompok teater lokal. Dia adalah seorang kontributor pada Notable Twentieth Century Scientists dan namanya terdaftar di dalam buku Who’s Who in America.
Showing posts with label Skandal Paus. Show all posts
Showing posts with label Skandal Paus. Show all posts
Wednesday, October 20, 2010
Skandal dan Kriminal Paus Borgia [3]
Anak dari hubungan gelap
IV. LUCREZIA (1480-1519)
Tidak ada satu pun potret Lucrezia Borgia yang mampu menangkap kesan kontradiksi alamiahnya lebih dari lukisan allegoris yang dibuat oleh Titian yang digantung di Borghese Gallery, Roma. Lukisan itu memperlihatkan Lucrezia di satu sisi sebuah kolam kecil, Venus yang telanjang di sisi lain, dan cupid kecil di antara mereka. Alegori yang diharapkan adalah penggambaran cinta suci (Lucrezia) dan cinta duniawi (Venus), bagaikan paradoks historis Lucrezia Borgia.
Lucrezia adalah anak perempuan Kardinal Rodrigo Borgia dan gundiknya Vannozza de Cattanei. Di usia sebelas tahun Lucrezia sudah bertunangan dua kali, tetapi pertunangan-pertunangan itu dibatalkan oleh Rodrigo. Setelah Rodrigo menjadi Paus Alexander VI, dia menikahkan Lucrezia dengan Giovanni Sforza, sehingga membentuk persekutuan dengan sebuah keluarga Milan yang kuat. Pernikahannya dilakukan oleh wali, dan selama empat bulan setelah pernikahannya sampai dengan kedatangan suami barunya di Roma, Lucrezia hidup di sebuah istana yang indah sebelum pindah ke Vatikan dengan gundik baru Paus, Guilia Farnese (suami Guilia telah pergi jauh akibat “usaha” Paus yang baik sekali). Kediaman berikutnya adalah istana Vatikan, di mana Alexander dengan mudah datang dan pergi, mengunjungi anak dan gundiknya tanpa pengawasan siapapun. Sebuah upacara pernikahan resmi diadakan sesaat setelah kedatangan Sforza, dengan lima ratus orang pengiring pengantin wanita yang dipimpin oleh gundik Paus. Sebuah pesta perkawinan yang diselenggarakan secara mewah, dengan penampilan sebuah komedi karya dramawan Romawi kuno Plautus, sebuah komedi tentang libertine-libertine, gundik-gundik dan germo-germo. Ini adalah sebuah peristiwa skandal, tetapi tidak lebih mewah dibandingkan dengan banyak pesta zaman Renaissance lainnya.
Setelah menjalani waktu selama dua tahun sebagai Countess Pesaro dan tinggal di daerah di mana Paus telah menempatkan menantunya pada sebuah ekspedisi militer, Lucrezia kembali ke Roma dengan suaminya. Dia diperbantukan sebagai nyonya rumah bapaknya pada resepsi-resepsi diplomatik. Sejak keluarga Borgia tidak memerlukan keluarga Sforza lagi, lambat laun kehadiran Giovanni Sforza di istana kepausan tidak berarti apa-apa. Aliansi-aliansi politik baru telah membuat hubungan baik dengan keluarga Sforza tidak diperlukan lagi oleh Paus.
Setelah mendapat informasi dari Cesare bahwa Giovanni akan dibunuh, Lucrezia langsung mengingatkan suaminya, sehingga Giovanni pergi meninggalkan Roma. Ini mungkin merupakan suatu cara Cesare dan Lucrezia untuk menyuruh suaminya pergi. Lucrezia sangat senang berhasil menyingkirkan suaminya yang membosankan itu, dan Alexander serta Cesare lebih senang lagi mendapatkan kemungkinan merancang perkawinan yang menguntungkan lainnya bagi Lucrezia. Tentu saja dalam hal ini yang pertama kali dilakukan adalah menyingkirkan Giovanni Sforza.
>>>“Lucrezia Borgia” karya Bartolomeo Veneziano
Alexander mulai menjalankan rencananya. Dia bertanya kepada paman Giovanni, Kardinal Ascanio Sforza, untuk menawari kemenakannya itu agar setuju bercerai. Giovanni menolak dan menghubungi anggota keluarga Milan lainnya yang berkuasa. Para keluarga Milan itu enggan bertengkar dengan Paus, tetapi mereka berusaha membela Giovanni dengan menyarankannya untuk membuktikan kejantanannya dengan tidur bersama Lucrezia, disaksikan oleh keluarga Borgia dan Sforza. Giovanni menolak usulan ini, meskipun orang-orang dekatnya tahu bahwa dia mampu melakukan pembuktian itu, dan balik menyerang. Dia menuduh Lucrezia melakukan incest dengan bapaknya dan kedua saudaranya: Cesare dan Giovanni, Duke kedua Gandia.
Terhadap tuduhan ini, Paus hanya bisa mengemukakan sebuah alasan valid untuk membatalkannya: non-consummation perkawinan, dan dia menawarkan kepada menantunya untuk mengambil seluruh mas kawin putrinya. Kepala keluarga Sforza mengancam mencabut perlindungannya terhadap Giovanni bila keponakannya itu menolak tawaran Paus. Giovanni Sforza tidak punya pilihan lain, dan menandatangani sebuah surat pengakuan gangguan impotensi serta dokumen-dokumen pembatalan pembuktian.
Demikianlah nasib sang suami pertama, Giovanni Sforza. Dia beruntung bisa keluar dari keluarga Borgia dengan selamat.
Selama perundingan perceraian berlangsung, Lucrezia beristirahat di sebuah biara terdekat, dan komunikasinya dengan Alexander selama itu hanya berupa pesan-pesan yang diantarkan oleh pengurus rumah tangga istananya yang masih muda, Perotto. Enam bulan kemudian, dalam keadaan hamil akibat hubungan haramnya dengan Perotto, Lucrezia hadir pada sebuah seremoni dimana Vatikan memberikan ketetapan yang menegaskan bahwa Lucrezia adalah “intacta”, yang berarti dia seorang perawan (virgin). Giovanni Sforza memberikan testimoni di bawah sumpah terhadap fakta ini dan perceraian menjadi kata “final”.
Cesare, begitu mengetahui kehamilan adiknya, menjadi marah. Dia mengejar Perotto dengan pedang terhunus, lalu menikamnya ketika Perotto berlutut di bawah singgasana Paus, sehingga darahnya muncrat ke haribaan bapaknya. Perotto selamat dari serangan ini, tetapi dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Beberapa hari kemudian, Burchard melaporkan bahwa Perotto “jatuh dan tenggelam di sungai Tiber karena kehendaknya sendiri”. Enam hari kemudian, tubuh Perotto diangkat dari sungai bersama dengan pelayan perempuan Lucrezia yang dipercaya telah memudahkan terjadinya affair itu.
Anak dari hubungan gelap ini lahir dengan penuh kerahasiaan, dan ketika Alexander akhirnya mengakuinya, maka anak itu disebut “infans Romanus”. Dia diberi nama Giovanni, dan merupakan sosok misterius dalam sejarah Borgia. Anak ini belum tampil hingga tiga tahun setelah kelahirannya, yaitu ketika Alexander mengumumkan bahwa anak tersebut memang infans Romanus, anak Roma; dan merupakan keturunan Cesare dengan seorang wanita yang tidak diketahui namanya. Ketetapan Kepausan (Papal Bull) pertama kemudian diikuti dengan ketetapan berikutnya, yang menyatakan bahwa anak tersebut adalah anak Paus sendiri, biar pun Paus telah berusia enam puluh tujuh tahun ketika anak itu masih berupa janin. Kepentingan Papal Bull itu untuk memberi alasan bagi Alexander mewariskan kepada Giovanni muda sebuah duchy Nepi, sebuah properti penting bagi keluarga Borgia.
Dalih untuk melegitimasi infans Romanus ini dengan mudah membuat masyarakat berasumsi bahwa anak tersebut adalah putra dari Lucrezia dan Alexander, atau Lucrezia dengan Cesare. Sejarawan Potigliotti memperkirakan bahwa Lucrezia telah menuntut diumumkannya dua buah Papal Bull tersebut karena dia tidak mengetahui yang mana di antara kedua “kekasihnya” itu, bapaknya ataukah kakaknya, yang sebenarnya menjadi ayah dari sang Giovanni muda.
Giovanni berpindah dari penjagaan yang satu ke penjagaan yang lain, yang berakhir bersama Lucrezia di Ferrara sebagai “sanak keluarga Lucrezia”. Sayangnya Giovanni tidak mewarisi gelar dan hak-haknya, dan sesudah bekerja seumur hidup sebagai seorang pegawai rendahan di istana-istana Vatikan dan Perancis, dia meninggal dalam kondisi relatif tidak dikenal di tahun 1548. Rumor yang menyatakan bahwa asal usulnya dari hubungan incest bermula dari serangan suami pertama Lucrezia kepada bapak mertuanya, dan rumor itu tetap berlangsung hingga saat ini. Hal tersebut bisa jadi benar, atau bisa jadi Giovanni memang anak dari hubungan sembrono Lucrezia dengan Perotto.
Pada tahun itu juga, setelah terjadinya peristiwa dengan Giovanni Sforza di atas, Lucrezia menikah dengan Pangeran Alfonso dari Aragon yang berusia tujuh belas tahun di Naples, yang mengizinkan Alexander membentuk persekutuan lainnya dengan sebuah kerajaan penting kedua. Alfonso adalah Duke Bisceglie, sebuah daerah kepangeranan penting di Kerajaan Naples. Pesta perkawinan kedua ini semewah perkawinan pertama, dan kedua orang yang berusia tujuh belas tahun ini benar-benar gembira.
Sebagaimana kasus-kasus yang seringkali terjadi sepanjang periode sejarah, kesetiaan politik mulai membentur kembali, mengubah sekutu menjadi musuh. Alfonso, sang Duke Bisceglie, tiba-tiba menyadari bahwa dia dan keluarganya mulai tidak disenangi, dan Alexander mengalihkan dukungannya kepada musuh-musuh Kerajaan Naples. Meskipun Paus meyakinkan menantunya bahwa dia tetap disayangi –suatu saat pasangan muda itu diberi hadiah sebuah puri, bersama-sama dengan kota dan tanah-tanah Nepi-, Alfonso tahu bahwa segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk suatu alasan, Alexander memberikan jabatan Gubernur Spoleto dan Foligno (daerah-daerah yang biasanya disediakan untuk Kardinal-kardinal) kepada Lucrezia, terutama untuk menjadikan Alfonso sebagai seorang suami yang tidak berguna. Lucrezia, meskipun baru berusia sembilan belas tahun, bukan hanya sebagai pemimpin boneka saja di Spoleto dan Foligno, tetapi memang memiliki kemampuan untuk mengelola kota itu dengan baik.
Sesudah beberapa bulan kemudian, Paus membujuk Lucrezia dan suaminya kembali ke Roma, sambil menanti kelahiran anak mereka yang pertama, yang kemudian diberi nama yang sama dengan kakeknya: Rodrigo.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba terlihat Alfonso berlari melintasi alun-alun St. Peter karena diserang oleh sekelompok orang bersenjata. Dia menderita luka-luka serius dan hampir mati, tetapi segera dibawa ke apartemen Vatikan dan didatangi oleh sang istri, Lucrezia. Lucrezia yang menunggui suaminya di sisi tempat tidurnya, benar-benar takut karena dia sepenuhnya sadar bahwa saudaranya Cesare, berada di balik serangan itu. Atas perawatan yang sabar dan lembut dari istrinya, Alfonso sembuh.
Sayangnya dia lalu dikunjungi oleh saudara iparnya, Cesare; yang menyuruh Lucrezia, saudara iparnya Sancia, dan para pembantu keluar ruangan. Menurut beberapa sumber, Cesare memerintahkan kepada kepala pengikutnya untuk mencekik Alfonso. Alexander yang melihat Lucrezia dan Sancia keluar lari ketakutan dari kamar tidur Alfonso, segera mengirimkan para pelayannya untuk berusaha mencegah pembunuhan itu. Saat mereka masuk, semuanya sudah terlambat. Sebagaimana dilaporkan oleh Burchard, ”Karena Don Alfonso tidak mau mati akibat luka-lukanya, maka dia dicekik di tempat tidurnya.”
Demikianlah akhir riwayat suami kedua. Dia tidak seberuntung suami pertama.
Setahun kemudian, ketika memeriksa pendapatan-pendapatan tambahan baru dari penaklukannya atas bapak Alfonso, sang Raja Naples Federico, Alexander meninggalkan pengelolaan Vatikan dan Gereja di tangan Lucrezia. Seorang wanita yang berusia dua puluh satu tahun dan berperan sebagai kepala pemerintahan dunia Kristen, tidak terlalu mengejutkan para Kardinal Curia, yang terbiasa dengan sistem pemerintahan kepausan Alexander yang seenaknya dan keterlaluan. Paus sibuk mengumpulkan uang untuk membiayai petualangan-petualangan militer Cesare, dan mendapatkan mas kawin yang besar bagi Lucrezia, yang diharapkan menikah lagi dengan suami ketiga dari keluarga kerajaan, jika mungkin untuk saat ini.
Cesare membuat seleksi. Pangeran dan warisannya duchy Ferrara, sebuah negara kota yang berbatasan dengan propinsi Romagna milik Cesare, telah bersedia. Dia berusia dua puluh empat tahun dan seorang duda tanpa anak. Lucrezia yang berusia dua puluh satu tahun, amat tepat untuknya. Sebagai penukar mas kawin yang besar dan sebagai sebuah upaya pencabutan pajak kepausannya, Duke Ferrara setuju untuk menikah. Lucrezia akhirnya memperoleh suaminya yang ketiga dan terakhir.
Alfonso d’Este, Pangeran Ferrara, adalah tipe laki-laki yang sangat pendiam, yang tertarik pada artileri, musik dan rumah pelacuran, telah sanggup menawan hati istri barunya.
Seorang anggota istana menggambarkan Lucrezia sebagai berikut :
“Tingginya sedang dan bentuk tubuhnya anggun; wajahnya agak lonjong dengan hidung mancung, rambut keemasan, matanya keabu-abuan, mulutnya agak besar, giginya putih sempurna, dadanya putih halus dengan proporsi yang mengagumkan. Keseluruhannya memancarkan humor dan keriangan.”
Dari titik ini, Lucrezia menjadi seorang istri yang menyenangkan dan ibu yang mengagumkan.
Kecuali untuk beberapa hal. Ketika dia berhasil memuaskan suaminya dan memperoleh empat orang anak darinya, dia juga melakukan sebuah hubungan kasih dengan penyair Pietro Bembo. Apakah hal itu merupakan sebuah hubungan fisik ataukah sebuah roman platonik tidak begitu jelas, tetapi hal tersebut kadang kala menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada suaminya. Sesudah Bembo meninggalkan Ferrara menuju Venice, surat-suratnya kepada Lucrezia menjadi lebih resmi, dan pada tahun 1505 persahabatan itu berakhir. Yang mengherankan, hubungannya dengan Bembo telah menganugerahkan sebuah kepekaan artistik yang meningkatkan reputasinya di Ferrara.
Lucrezia selalu berpihak kepada saudaranya Cesare dalam berbagai petualangan militernya, dan ketika Cesare gugur, dia merasa hancur. Dia berupaya membuat proteksi untuk Rodrigo anaknya dari suami kedua, dan juga “saudaranya” Giovanni yang misterius, infans Romanus. Berlawanan dengan keinginan suaminya, dia membawa Rodrigo dan Giovanni ke Ferrara, di mana mereka bergabung di dalam sebuah rumah tangga yang sesak. Pada akhirnya kedua anak muda tersebut dikirimkan kepada Isabella dari Aragon yang berjanji untuk memperhatikan pendidikan mereka. Rodrigo meninggal pada tahun 1512, pada usia tiga belas tahun. Lucrezia yang berduka kemudian mengasingkan diri di sebuah biara. Sesudah sekian waktu, dia kembali lagi kepada suaminya.
Setelah melahirkan bayinya yang kelima ketika di Ferrara, yang meninggal sesaat sesudah lahir, Lucrezia terkena puerperal fever dan meninggal pada tanggal 24 Juni 1519. Dia berusia tiga puluh sembilan tahun.
Demikianlah Lucrezia; yang dituduh berpartisipasi dalam berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh bapak dan saudaranya, yang dituduh melakukan incest dengan bapaknya atau saudaranya (atau keduanya), meninggal di kediaman suaminya yang saleh dan dihormati, Duke Ferrara. Salah seorang anaknya, Ercole, menggantikan posisi bapaknya sebagai Duke; sedangkan lainnya, Ippolito, menjadi seorang Kardinal. Keduanya dikenal karena kecintaannya pada kemewahan, sebagaimana tradisi keluarga Borgia terhadap dunia materi yang berlebihan.
IV. LUCREZIA (1480-1519)
Tidak ada satu pun potret Lucrezia Borgia yang mampu menangkap kesan kontradiksi alamiahnya lebih dari lukisan allegoris yang dibuat oleh Titian yang digantung di Borghese Gallery, Roma. Lukisan itu memperlihatkan Lucrezia di satu sisi sebuah kolam kecil, Venus yang telanjang di sisi lain, dan cupid kecil di antara mereka. Alegori yang diharapkan adalah penggambaran cinta suci (Lucrezia) dan cinta duniawi (Venus), bagaikan paradoks historis Lucrezia Borgia.
Lucrezia adalah anak perempuan Kardinal Rodrigo Borgia dan gundiknya Vannozza de Cattanei. Di usia sebelas tahun Lucrezia sudah bertunangan dua kali, tetapi pertunangan-pertunangan itu dibatalkan oleh Rodrigo. Setelah Rodrigo menjadi Paus Alexander VI, dia menikahkan Lucrezia dengan Giovanni Sforza, sehingga membentuk persekutuan dengan sebuah keluarga Milan yang kuat. Pernikahannya dilakukan oleh wali, dan selama empat bulan setelah pernikahannya sampai dengan kedatangan suami barunya di Roma, Lucrezia hidup di sebuah istana yang indah sebelum pindah ke Vatikan dengan gundik baru Paus, Guilia Farnese (suami Guilia telah pergi jauh akibat “usaha” Paus yang baik sekali). Kediaman berikutnya adalah istana Vatikan, di mana Alexander dengan mudah datang dan pergi, mengunjungi anak dan gundiknya tanpa pengawasan siapapun. Sebuah upacara pernikahan resmi diadakan sesaat setelah kedatangan Sforza, dengan lima ratus orang pengiring pengantin wanita yang dipimpin oleh gundik Paus. Sebuah pesta perkawinan yang diselenggarakan secara mewah, dengan penampilan sebuah komedi karya dramawan Romawi kuno Plautus, sebuah komedi tentang libertine-libertine, gundik-gundik dan germo-germo. Ini adalah sebuah peristiwa skandal, tetapi tidak lebih mewah dibandingkan dengan banyak pesta zaman Renaissance lainnya.
Setelah menjalani waktu selama dua tahun sebagai Countess Pesaro dan tinggal di daerah di mana Paus telah menempatkan menantunya pada sebuah ekspedisi militer, Lucrezia kembali ke Roma dengan suaminya. Dia diperbantukan sebagai nyonya rumah bapaknya pada resepsi-resepsi diplomatik. Sejak keluarga Borgia tidak memerlukan keluarga Sforza lagi, lambat laun kehadiran Giovanni Sforza di istana kepausan tidak berarti apa-apa. Aliansi-aliansi politik baru telah membuat hubungan baik dengan keluarga Sforza tidak diperlukan lagi oleh Paus.
Setelah mendapat informasi dari Cesare bahwa Giovanni akan dibunuh, Lucrezia langsung mengingatkan suaminya, sehingga Giovanni pergi meninggalkan Roma. Ini mungkin merupakan suatu cara Cesare dan Lucrezia untuk menyuruh suaminya pergi. Lucrezia sangat senang berhasil menyingkirkan suaminya yang membosankan itu, dan Alexander serta Cesare lebih senang lagi mendapatkan kemungkinan merancang perkawinan yang menguntungkan lainnya bagi Lucrezia. Tentu saja dalam hal ini yang pertama kali dilakukan adalah menyingkirkan Giovanni Sforza.
>>>“Lucrezia Borgia” karya Bartolomeo Veneziano
Alexander mulai menjalankan rencananya. Dia bertanya kepada paman Giovanni, Kardinal Ascanio Sforza, untuk menawari kemenakannya itu agar setuju bercerai. Giovanni menolak dan menghubungi anggota keluarga Milan lainnya yang berkuasa. Para keluarga Milan itu enggan bertengkar dengan Paus, tetapi mereka berusaha membela Giovanni dengan menyarankannya untuk membuktikan kejantanannya dengan tidur bersama Lucrezia, disaksikan oleh keluarga Borgia dan Sforza. Giovanni menolak usulan ini, meskipun orang-orang dekatnya tahu bahwa dia mampu melakukan pembuktian itu, dan balik menyerang. Dia menuduh Lucrezia melakukan incest dengan bapaknya dan kedua saudaranya: Cesare dan Giovanni, Duke kedua Gandia.
Terhadap tuduhan ini, Paus hanya bisa mengemukakan sebuah alasan valid untuk membatalkannya: non-consummation perkawinan, dan dia menawarkan kepada menantunya untuk mengambil seluruh mas kawin putrinya. Kepala keluarga Sforza mengancam mencabut perlindungannya terhadap Giovanni bila keponakannya itu menolak tawaran Paus. Giovanni Sforza tidak punya pilihan lain, dan menandatangani sebuah surat pengakuan gangguan impotensi serta dokumen-dokumen pembatalan pembuktian.
Demikianlah nasib sang suami pertama, Giovanni Sforza. Dia beruntung bisa keluar dari keluarga Borgia dengan selamat.
Selama perundingan perceraian berlangsung, Lucrezia beristirahat di sebuah biara terdekat, dan komunikasinya dengan Alexander selama itu hanya berupa pesan-pesan yang diantarkan oleh pengurus rumah tangga istananya yang masih muda, Perotto. Enam bulan kemudian, dalam keadaan hamil akibat hubungan haramnya dengan Perotto, Lucrezia hadir pada sebuah seremoni dimana Vatikan memberikan ketetapan yang menegaskan bahwa Lucrezia adalah “intacta”, yang berarti dia seorang perawan (virgin). Giovanni Sforza memberikan testimoni di bawah sumpah terhadap fakta ini dan perceraian menjadi kata “final”.
Cesare, begitu mengetahui kehamilan adiknya, menjadi marah. Dia mengejar Perotto dengan pedang terhunus, lalu menikamnya ketika Perotto berlutut di bawah singgasana Paus, sehingga darahnya muncrat ke haribaan bapaknya. Perotto selamat dari serangan ini, tetapi dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Beberapa hari kemudian, Burchard melaporkan bahwa Perotto “jatuh dan tenggelam di sungai Tiber karena kehendaknya sendiri”. Enam hari kemudian, tubuh Perotto diangkat dari sungai bersama dengan pelayan perempuan Lucrezia yang dipercaya telah memudahkan terjadinya affair itu.
Anak dari hubungan gelap ini lahir dengan penuh kerahasiaan, dan ketika Alexander akhirnya mengakuinya, maka anak itu disebut “infans Romanus”. Dia diberi nama Giovanni, dan merupakan sosok misterius dalam sejarah Borgia. Anak ini belum tampil hingga tiga tahun setelah kelahirannya, yaitu ketika Alexander mengumumkan bahwa anak tersebut memang infans Romanus, anak Roma; dan merupakan keturunan Cesare dengan seorang wanita yang tidak diketahui namanya. Ketetapan Kepausan (Papal Bull) pertama kemudian diikuti dengan ketetapan berikutnya, yang menyatakan bahwa anak tersebut adalah anak Paus sendiri, biar pun Paus telah berusia enam puluh tujuh tahun ketika anak itu masih berupa janin. Kepentingan Papal Bull itu untuk memberi alasan bagi Alexander mewariskan kepada Giovanni muda sebuah duchy Nepi, sebuah properti penting bagi keluarga Borgia.
Dalih untuk melegitimasi infans Romanus ini dengan mudah membuat masyarakat berasumsi bahwa anak tersebut adalah putra dari Lucrezia dan Alexander, atau Lucrezia dengan Cesare. Sejarawan Potigliotti memperkirakan bahwa Lucrezia telah menuntut diumumkannya dua buah Papal Bull tersebut karena dia tidak mengetahui yang mana di antara kedua “kekasihnya” itu, bapaknya ataukah kakaknya, yang sebenarnya menjadi ayah dari sang Giovanni muda.
Giovanni berpindah dari penjagaan yang satu ke penjagaan yang lain, yang berakhir bersama Lucrezia di Ferrara sebagai “sanak keluarga Lucrezia”. Sayangnya Giovanni tidak mewarisi gelar dan hak-haknya, dan sesudah bekerja seumur hidup sebagai seorang pegawai rendahan di istana-istana Vatikan dan Perancis, dia meninggal dalam kondisi relatif tidak dikenal di tahun 1548. Rumor yang menyatakan bahwa asal usulnya dari hubungan incest bermula dari serangan suami pertama Lucrezia kepada bapak mertuanya, dan rumor itu tetap berlangsung hingga saat ini. Hal tersebut bisa jadi benar, atau bisa jadi Giovanni memang anak dari hubungan sembrono Lucrezia dengan Perotto.
Pada tahun itu juga, setelah terjadinya peristiwa dengan Giovanni Sforza di atas, Lucrezia menikah dengan Pangeran Alfonso dari Aragon yang berusia tujuh belas tahun di Naples, yang mengizinkan Alexander membentuk persekutuan lainnya dengan sebuah kerajaan penting kedua. Alfonso adalah Duke Bisceglie, sebuah daerah kepangeranan penting di Kerajaan Naples. Pesta perkawinan kedua ini semewah perkawinan pertama, dan kedua orang yang berusia tujuh belas tahun ini benar-benar gembira.
Sebagaimana kasus-kasus yang seringkali terjadi sepanjang periode sejarah, kesetiaan politik mulai membentur kembali, mengubah sekutu menjadi musuh. Alfonso, sang Duke Bisceglie, tiba-tiba menyadari bahwa dia dan keluarganya mulai tidak disenangi, dan Alexander mengalihkan dukungannya kepada musuh-musuh Kerajaan Naples. Meskipun Paus meyakinkan menantunya bahwa dia tetap disayangi –suatu saat pasangan muda itu diberi hadiah sebuah puri, bersama-sama dengan kota dan tanah-tanah Nepi-, Alfonso tahu bahwa segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk suatu alasan, Alexander memberikan jabatan Gubernur Spoleto dan Foligno (daerah-daerah yang biasanya disediakan untuk Kardinal-kardinal) kepada Lucrezia, terutama untuk menjadikan Alfonso sebagai seorang suami yang tidak berguna. Lucrezia, meskipun baru berusia sembilan belas tahun, bukan hanya sebagai pemimpin boneka saja di Spoleto dan Foligno, tetapi memang memiliki kemampuan untuk mengelola kota itu dengan baik.
Sesudah beberapa bulan kemudian, Paus membujuk Lucrezia dan suaminya kembali ke Roma, sambil menanti kelahiran anak mereka yang pertama, yang kemudian diberi nama yang sama dengan kakeknya: Rodrigo.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba terlihat Alfonso berlari melintasi alun-alun St. Peter karena diserang oleh sekelompok orang bersenjata. Dia menderita luka-luka serius dan hampir mati, tetapi segera dibawa ke apartemen Vatikan dan didatangi oleh sang istri, Lucrezia. Lucrezia yang menunggui suaminya di sisi tempat tidurnya, benar-benar takut karena dia sepenuhnya sadar bahwa saudaranya Cesare, berada di balik serangan itu. Atas perawatan yang sabar dan lembut dari istrinya, Alfonso sembuh.
Sayangnya dia lalu dikunjungi oleh saudara iparnya, Cesare; yang menyuruh Lucrezia, saudara iparnya Sancia, dan para pembantu keluar ruangan. Menurut beberapa sumber, Cesare memerintahkan kepada kepala pengikutnya untuk mencekik Alfonso. Alexander yang melihat Lucrezia dan Sancia keluar lari ketakutan dari kamar tidur Alfonso, segera mengirimkan para pelayannya untuk berusaha mencegah pembunuhan itu. Saat mereka masuk, semuanya sudah terlambat. Sebagaimana dilaporkan oleh Burchard, ”Karena Don Alfonso tidak mau mati akibat luka-lukanya, maka dia dicekik di tempat tidurnya.”
Demikianlah akhir riwayat suami kedua. Dia tidak seberuntung suami pertama.
Setahun kemudian, ketika memeriksa pendapatan-pendapatan tambahan baru dari penaklukannya atas bapak Alfonso, sang Raja Naples Federico, Alexander meninggalkan pengelolaan Vatikan dan Gereja di tangan Lucrezia. Seorang wanita yang berusia dua puluh satu tahun dan berperan sebagai kepala pemerintahan dunia Kristen, tidak terlalu mengejutkan para Kardinal Curia, yang terbiasa dengan sistem pemerintahan kepausan Alexander yang seenaknya dan keterlaluan. Paus sibuk mengumpulkan uang untuk membiayai petualangan-petualangan militer Cesare, dan mendapatkan mas kawin yang besar bagi Lucrezia, yang diharapkan menikah lagi dengan suami ketiga dari keluarga kerajaan, jika mungkin untuk saat ini.
Cesare membuat seleksi. Pangeran dan warisannya duchy Ferrara, sebuah negara kota yang berbatasan dengan propinsi Romagna milik Cesare, telah bersedia. Dia berusia dua puluh empat tahun dan seorang duda tanpa anak. Lucrezia yang berusia dua puluh satu tahun, amat tepat untuknya. Sebagai penukar mas kawin yang besar dan sebagai sebuah upaya pencabutan pajak kepausannya, Duke Ferrara setuju untuk menikah. Lucrezia akhirnya memperoleh suaminya yang ketiga dan terakhir.
Alfonso d’Este, Pangeran Ferrara, adalah tipe laki-laki yang sangat pendiam, yang tertarik pada artileri, musik dan rumah pelacuran, telah sanggup menawan hati istri barunya.
Seorang anggota istana menggambarkan Lucrezia sebagai berikut :
“Tingginya sedang dan bentuk tubuhnya anggun; wajahnya agak lonjong dengan hidung mancung, rambut keemasan, matanya keabu-abuan, mulutnya agak besar, giginya putih sempurna, dadanya putih halus dengan proporsi yang mengagumkan. Keseluruhannya memancarkan humor dan keriangan.”
Dari titik ini, Lucrezia menjadi seorang istri yang menyenangkan dan ibu yang mengagumkan.
Kecuali untuk beberapa hal. Ketika dia berhasil memuaskan suaminya dan memperoleh empat orang anak darinya, dia juga melakukan sebuah hubungan kasih dengan penyair Pietro Bembo. Apakah hal itu merupakan sebuah hubungan fisik ataukah sebuah roman platonik tidak begitu jelas, tetapi hal tersebut kadang kala menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada suaminya. Sesudah Bembo meninggalkan Ferrara menuju Venice, surat-suratnya kepada Lucrezia menjadi lebih resmi, dan pada tahun 1505 persahabatan itu berakhir. Yang mengherankan, hubungannya dengan Bembo telah menganugerahkan sebuah kepekaan artistik yang meningkatkan reputasinya di Ferrara.
Lucrezia selalu berpihak kepada saudaranya Cesare dalam berbagai petualangan militernya, dan ketika Cesare gugur, dia merasa hancur. Dia berupaya membuat proteksi untuk Rodrigo anaknya dari suami kedua, dan juga “saudaranya” Giovanni yang misterius, infans Romanus. Berlawanan dengan keinginan suaminya, dia membawa Rodrigo dan Giovanni ke Ferrara, di mana mereka bergabung di dalam sebuah rumah tangga yang sesak. Pada akhirnya kedua anak muda tersebut dikirimkan kepada Isabella dari Aragon yang berjanji untuk memperhatikan pendidikan mereka. Rodrigo meninggal pada tahun 1512, pada usia tiga belas tahun. Lucrezia yang berduka kemudian mengasingkan diri di sebuah biara. Sesudah sekian waktu, dia kembali lagi kepada suaminya.
Setelah melahirkan bayinya yang kelima ketika di Ferrara, yang meninggal sesaat sesudah lahir, Lucrezia terkena puerperal fever dan meninggal pada tanggal 24 Juni 1519. Dia berusia tiga puluh sembilan tahun.
Demikianlah Lucrezia; yang dituduh berpartisipasi dalam berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh bapak dan saudaranya, yang dituduh melakukan incest dengan bapaknya atau saudaranya (atau keduanya), meninggal di kediaman suaminya yang saleh dan dihormati, Duke Ferrara. Salah seorang anaknya, Ercole, menggantikan posisi bapaknya sebagai Duke; sedangkan lainnya, Ippolito, menjadi seorang Kardinal. Keduanya dikenal karena kecintaannya pada kemewahan, sebagaimana tradisi keluarga Borgia terhadap dunia materi yang berlebihan.
Skandal dan Kriminal Paus Borgia [2]
Sikap Amoral Alexander
TERLAHIR sebagai Rodrigo Borgia di dekat Valencia, Spanyol, merupakan kemenakan Callixtus yang membuatnya menjadi seorang Kardinal pada umur dua puluh lima tahun (tahun 1456) dan vice chancellor6 di tahun 1457. Sebagai seorang vice chancellor, ia menimbun kekayaan pribadi yang banyak, menjalani hidup secara terbuka dan tidak pilih-pilih dalam bergaul, serta menjadi bapak bagi tujuh orang anak, baik sewaktu menjadi Kardinal maupun sebagai Paus. Pius II, yang menggantikan Callixtus dan melanjutkan dukungan untuk kenaikan Kardinal Rodrigo Borgia pada hierarki gereja, sudah mengingatkan Kardinal muda ini untuk menahan diri dari kebiasaannya berpartisipasi dalam pesta-pesta orgy. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Paus Pius II, sebagai sesuatu yang “tidak pantas”.
Sebagai seorang anak muda, Rodrigo digambarkan sebagai tinggi dan ganteng. Sigismondo de Conti mengatakan tentangnya sebagai seorang yang tinggi, tegap, dengan tatapan mata yang tajam, sangat ramah, dan “kemampuan yang menakjubkan dalam menangani masalah-masalah keuangan”. Lainnya mengagumi postur tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang kemerah-merahan, matanya yang gelap, dan mulutnya yang penuh.
Bagaimanapun juga, ternyata pada umur awal enam-puluhan ketika dia menjadi Paus, rupanya dia kehilangan pesona fisiknya. Kita hanya memiliki sedikit lukisan yang dapat diidentifikasikan sebagai lukisan diri yang sebenarnya; sebuah lukisan yang menggambarkan seorang Paus yang botak dan gemuk sedang berlutut dan berdoa di depan Kristus.
Ketika menjadi Kardinal, dia mengambil Vannozza de Catanei sebagai gundiknya, yang memberinya empat orang anak, termasuk Cesare (lahir di tahun 1475) dan Lucrezia (lahir di tahun 1480). Saat dia menjadi Paus di tahun 1492, dia membuang Vannozza dan memperoleh Guilia Farnese sebagai gundiknya; seorang wanita muda yang mungkin menjadi ibu atas dua atau tiga anak tambahan dari Alexander. Sebelum Vannozza, Rodrigo sudah menjadi bapak dari paling sedikit dua orang anak hasil hubungannya dengan satu atau lebih wanita yang nama-namanya hilang dari sejarah.
Paus Innocent VIII wafat, dan sebuah perjuangan politik terjadi untuk memperebutkan tahta kepausan. Tawar menawar terjadi sengit, dan ketika suara-suara yang masuk sudah dihitung secara final; Rodrigo Borgia, dengan membeli suara seorang Kardinal yang berumur 96 tahun dan sudah hampir kehilangan seluruh kemampuannya, akhirnya terpilih. Seorang dari enam orang Kardinal yang tidak bisa disuap adalah Giuliano della Rovere, yang tetap menjadi musuh keluarga Borgia dan akhirnya menggantikan Alexander VI sebagai Paus Julius II (ingat lukisan Michelangelo; the Warrior Pope (Paus Pejuang)).
Pada saat perayaan pentahbisan Rodrigo sebagai Paus Alexander VI yang rumit, dia juga “ditetapkan” sebagai seorang laki-laki, karena dari abad ke XIII dan sebagai akibat skandal mitos “Paus Joan”, Paus John yang dipercaya sebenarnya adalah wanita7, Paus terpilih yang baru harus bersedia menjalani “uji kebohongan” pada sebuah tempat duduk rendah dan berlobang (pemeriksa alat kelamin). Kenyataan bahwa Rodrigo, seorang bapak yang subur, mungkin telah menyamarkan jenis kelaminnya, merupakan sebuah pernyataan yang menggelikan pada kenaikannya menuju tahta puncak St. Peter.
Tetapi Rodrigo, sekarang Alexander VI, telah belajar banyak dari pendahulunya, Innocent VIII, Paus pertama yang mengakui secara terbuka anak haramnya dan menampilkan mereka dengan kekayaan dan gelar-gelar. Alexander mengambil keuntungan dari teladan ini.
Sesudah sebuah permulaan yang keras sebagai seorang Paus, yaitu memperbarui Curia8 dan Simony9 –yang tentu saja berarti dia sudah membeli kepausan- Alexander mengkonsentrasikan usahanya kepada minat-minatnya yang utama, yang seperti halnya Innocent VIII, berarti perolehan emas, mengejar wanita-wanita, dan kesenangan-kesenangan keluarganya. Dalam hal ini Alexander telah membuat pendahulunya kelihatan bertaraf amatiran. Dia namakan anak lelakinya Cesare, dan kemudian hanya dalam waktu delapan belas tahun, menjadikannya seorang Kardinal bersama dengan saudara selir Paus yang lebih muda, Alessandro Farnese. Dia merancang tiga buah perkawinan untuk anak perempuannya, Lucrezia, lalu secara cerdas membatalkan perkawinannya yang pertama, dan melalui upaya-upaya Cesare, dengan baik sekali membuat Lucrezia sebagai seorang janda pada perkawinan kedua. Lucrezia seringkali dibiarkan mengisi kelowongan jabatan Paus pada kepausan –yang sebagai akibatnya menjadi perwalian- ketika Alexander pergi dari Roma.
Alexander membentuk persekutuan-persekutuan melalui perkawinan-perkawinan anak-anaknya. Sebagai contoh, dia menghubungkan kekuatannya dengan faksi orang-orang Milan, menggabungkan keluarga-keluarga Borgia dan keluarga Sforza dengan mengawinkan Lucrezia pada Giovanni Sforza, anak haram Constanzo Sforza, sepupu kardinal yang berkuasa, Ascanio Sforza. Dia memperkuat posisinya dengan Kerajaan Aragon dan Naples dengan mengawinkan anak lakinya yang lebih muda, Jofre dengan Sancia dari Aragon, yang kemudian menipu suaminya dan melakukan perzinaan dengan Cesare serta Giovanni, saudara tua Jofre.
Di tahun 1493, Alexander mencoba membuat sebuah garis pemisah (garis demarkasi) di antara lingkungan pengaruh Spanyol dan Portugis pada Dunia Baru (the New World), tetapi ketetapan politik tentang daerah-daerah yang jauh ini dimodifikasi pada tahun 1494, karena pada bentuk awalnya ketetapan tersebut mengistimewakan tanah airnya, Spanyol. Dia juga menyiksa dan mengeksekusi pendeta Florentine terkenal Savonarola pada tahun 1498 yang secara terang-terangan mencela korupsi yang terjadi pada kepausan dan meminta agar Alexander dipecat.
Pada tahun 1500, tingkah laku Alexander –dengan dominasi pengaruh Cesare- makin menjadi-jadi. Perilaku amoral dan pembunuhan menjadi acara harian bagi kedua bapak dan anak tersebut.
Sesaat sesudah merayakan ulang tahun kesebelas kenaikannya ke kepausan, di bulan Agustus 1503, Alexander jatuh sakit. Atas kejadian yang kebetulan ini beredar sebuah rumor di Roma, dimana beberapa orang ahli seperti Mc Brien, percaya dengan kebenarannya. Alexander dan Cesare makan malam dengan Kardinal Adrian Corneto di villanya yang terbaru. Sudah lama dipercaya bahwa keluarga Borgia menargetkan Corneto menjadi korban mereka berikutnya. Tentu saja Corneto berpikir bahwa dia hendak diracun. Waktu hendak minum, dia menyelamatkan dirinya dengan menukar cangkir yang sudah disiapkan oleh Cesare untuknya. Yang tidak disangka-sangka adalah bahwa Alexander dan Cesare minum berdua tanpa beban dari cangkir-cangkir itu. Dalam beberapa hari Cesare sembuh dari keracunannya. Sang ayah masih tetap hidup beberapa hari kemudian dan meninggal pada usia tujuh puluh tahun.
Burchard, pembantu yang setia dan penulis buku harian yang rajin, melaporkan bahwa orang-orang Cesare memaksa masuk ke Vatikan dan merampok seluruh harta yang dapat mereka bawa, dan vandalisme ini berlangsung ketika Paus berjuang untuk tetap hidup.
Begitu Alexander wafat, para pembantunya menjarah kamar tidurnya. Sesudah Burchard menyiapkan mayat tersebut, para penjaga utama mengumpulkan para pendeta untuk menjaga mayat Paus dari kemungkinan penodaan atas kemarahan (atau lebih tepatnya luapan kegirangan) masyarakat Roma. Tetapi akhirnya Burchard mendapati bahwa mayat itu dipindah ke sebuah kapel kecil, dimana mayat tersebut tidak diawasi, perlahan membusuk dalam lembabnya cuaca bulan Agustus yang mencekam Roma.
Ketika Burchard kembali dengan para pembantu hendak menyiapkan si mayat untuk dimakamkan, dia menemukan tubuh Alexander menggelembung dan menghitam, demikian bengkak sehingga tidak muat ke dalam peti matinya. Para pembantu akhirnya melepas korset sang Paus, baru benar-benar berhasil memasukkannya ke dalam peti mati.
“Demikianlah sang Paus Alexander wafat dalam puncak kemuliaan dan kemakmuran. Padanya terdapat, dalam takaran penuh, semua sifat-sifat buruk baik yang sudah terwujud maupun yang masih berupa semangat. Padanya tidak terdapat agama, tidak terdapat kemauan menjaga perkataannya. Dia menjanjikan semua hal secara royal, tetapi membatasi dirinya sendiri terhadap hal-hal yang tidak berguna baginya. Dia tidak peduli dengan hukum, dan karena itu pada masanya Roma menjadi sarang pencuri dan pembunuh. Meskipun begitu, dosa-dosanya tidak mendapat hukuman di dunia ini, dia menjalani hari-hari terakhirnya dengan kondisinya yang amat makmur. Dalam satu kata, dia lebih jahat dan lebih beruntung dari, mungkin, Paus-paus siapapun juga sebelumnya.”
Francesco Guicciardini (sebagaimana dilaporkan dalam Chamberlain).
Kekuatan yang membuat Alexander gila-gilaan itu dapatlah dipahami ketika seseorang melihat keruntuhan total kerajaan Cesare setelah kematian ayahnya.
Tetapi membaca riwayat Cesare pada tulisan berikutnya, ternyata Alexander masih terhitung lunak.
III. CESARE
(1475-1507, Kardinal dari tahun 1493-1498)
Jika ada keluarga Borgia yang diingat saat ini, maka itu adalah kedua anak Alexander VI, dimana orang-orang mengetahui, bahwa hanya dengan kejahatanlah nama-nama mereka dihubungkan. Cesare, sang pembunuh dan petualang, dan Lucrezia, sang peracun. Keterangan-keterangan tentang keduanya menceritakan terlalu banyak tetapi juga terlalu sedikit.
Lukisan “Cesare Borgia” oleh Bembo di Galleria dell Accademia Carrara>>
Sebuah gambaran tentang kekuatan, pesona dan kekejaman Cesare Borgia dapat dilihat pada sebuah lukisan dirinya, mungkin dilukis sekitar tahun 1500 oleh Gianfrancesco Bembo.
Lukisan tersebut tentang seorang laki-laki yang ganteng, tanpa senyum, gelap, mengancam, matanya terletak berjauhan. Seseorang dapat merasakan kebenaran dari komentar Baluze (seorang pengamat kontemporer):
“Paus amat menyayangi putranya, dan juga sangat takut padanya.”
Cesare adalah anak laki-laki tertua dari anak-anak yang lahir akibat hubungan Alexander dan Vannozza de Catanei dalam masa jabatan Alexander sebagai Kardinal Rodrigo Borgia.
Jadi Cesare adalah anak pertama dari keluarga kedua Rodrigo. Kelompok pertama anak-anak haramnya yang diketahui berasal dari satu atau lebih wanita, dimulai oleh Pedro Luis (1462-1488), Duke pertama Gandia, yang naik menguasai duchy10 di Spanyol itu melalui intrik-intrik sang ayah.
<< Lukisan “Vannozza Cattanei” (Hachette)
Di tahun 1480, Paus Sixtus IV membuat sebuah Papal Bull11 yang “membuktikan” bahwa Cesare berasal dari kelahiran yang sah, dan mengijinkannya memperoleh benfices atau pendapatan dari berbagai kantor yang telah ditetapkan oleh Sixtus. Pada umur tujuh tahun Cesare diberi gelar yang memungkinkannya memperoleh prebend12 dari Katedral Valencia, dan sesudah itu dalam waktu singkat dia juga mendapatkan gelar apostolic protonotary atau “orang terkemuka pada Kanselir Kepausan”. Kedua gelar itu memberikan banyak benfices, yaitu gaji-gaji. Di umur sembilan tahun, Cesare menjadi Rector Gandia, Provost13 Albar dan Jativa, dan terakhir sebagai bendaharawan Cartagena. Pengangkatan-pengangkatan ini tentu saja merupakan hadiah yang diberikan atas pengaruh ayahnya, Rodrigo, yang memastikan harta-harta benda kependetaan di Valencia tetap berada didalam kontrol keluarga Borgia.
Cesare mempunyai saudara laki-laki yang lebih muda, anak kedua Vannozza yang bernama Giovanni. Ketika kakak tirinya yang bernama Pedro Luis, Duke pertama Gandia meninggal, Rodrigo menjadikan Giovanni sebagai Duke kedua Gandia. Jadi Rodrigo telah menetapkan Cesare untuk memiliki sebuah karir kependetaan yang memperkokoh pengaruh keluarga Borgia pada Gereja. Giovanni, saudara laki-lakinya yang lebih muda, akan menjadi –sebagaimana akan kita lihat- seorang korban pertama Cesare.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cloulas, pendidikan Cesare direncanakan secara hati-hati oleh Rodrigo. Cesare dibawa ke Roma hingga berumur dua belas tahun, dan dididik oleh para guru yang berpengalaman. Kemudian dia dikirim ke Perugia dalam pengawasan seorang guru Valencia yang kemudian menjadi Kardinal, sebagai hadiah untuk jasa tutorial tersebut.
Cesare mempelajari hukum dan humaniora di universitas, kemudian ke Universitas Pisa untuk belajar teologi. Pada akhir pendidikannya ini, ayahnya yang sekarang menjadi Paus Alexander VI, menjadikannya sebagai seorang Kardinal.
Di tahun 1493, sesudah menghadiri sebuah acara makan malam keluarga bersama ibunya, Vannozza dan saudara tuanya, Cesare; Giovanni, Duke Gandia yang kedua menghilang. Dia berkuda hingga petang bersama Cesare, teman-temannya dan para pembantu. Kemudian ditinggalkannya mereka semua, dan berkuda ke arah istana kepausan dengan ditemani oleh seorang pembantu dan seorang misterius dari sebuah festival topeng. Dia tidak pernah kelihatan hidup-hidup lagi. Sore hari berikutnya, ketika mencari Giovanni, para pencari datang dengan seorang saksi yang telah melihat dua orang laki-laki menceburkan sesosok tubuh manusia ke dalam sungai Tiber. Sungai Tiber akhirnya diaduk-aduk oleh sekitar tiga ratus orang pencari, dan sesudah mencari sepanjang malam, tubuh itu ditemukan siang hari berikutnya. Dia tetap memakai pakaian indahnya dengan dompet yang berisi uang tiga puluh ducat, tetapi tenggorokannya digorok dan tubuhnya direjam dengan luka-luka tikaman yang keji.
Begitu mendengar kematian anaknya, Alexander menjadi marah dan berduka, lalu menyatakan bahwa dia telah memutuskan untuk “mengubah kehidupan kita dan mereformasi Gereja. Kita meninggalkan semua bentuk nepotisme. Kita akan mulai mengadakan perubahan pada diri kita sendiri dan diteruskan ke seluruh tingkatan Gereja sampai seluruh pekerjaan selesai.” Seringkali kesungguhan Alexander tidak sesuai dengan pernyataannya, dan akhirnya kembali kepada cara-cara lamanya, mengabaikan janji-janji. Sebagai pendeta, dia tidak lebih siap untuk mengalami perubahan dibandingkan dengan keinginannya meneruskan program-programnya sendiri dalam politik dan kesenangan.
Pembunuh Giovanni tidak ditemukan, tetapi sekitar satu tahun sesudah kematiannya, yaitu sewaktu Cesare menanggalkan jubah kardinalnya untuk memperoleh jabatan duniawi, rumor yang berkembang menyatakan bahwa Cesarelah yang membunuh saudaranya itu. Motifnya menurut dugaan adalah kecemburuan Cesare terhadap sukses duniawi Giovanni, serta keinginannya untuk memperoleh gelar-gelar dan tanda-tanda jasa Giovanni bagi dirinya sendiri. Sebagaimana tampaknya, kecil kemungkinan bahwa Cesare membunuh saudaranya, karena Giovanni mempunyai seorang putra yang bernama Giovanni juga, yang segera menjadi Duke Gandia ketiga. Motif pembunuhan itu kemungkinan adalah balas dendam seorang suami yang cemburu, yang konsisten dengan perilaku seksual keterlaluan para anggota keluarga Borgia.
Sekali ini, keterangan di atas tidak menegaskan peranan Cesare sebagai seorang pembunuh, tetapi perilaku Cesare di kemudian hari membuat sulit bagi penduduk Roma untuk percaya bahwa dia tidak terlibat peristiwa pembunuhan Giovanni. Meskipun begitu, sudah jelas bahwa kematian Giovanni telah melapangkan jalan Cesare untuk menjadi orang biasa sekali lagi, yang memungkinkannya memperoleh pemberian posisi-posisi kebangsawanan yang melebihi tanda-tanda jasa Giovanni dari sang bapak. Keyakinan yang menyatakan bahwa Cesare merupakan pembunuh Giovanni diperlihatkan oleh sejarawan sejamannya yaitu Sanudo dan Guicciardini yang percaya bahwa sebuah pembunuhan Giovanni yang sempurna hanya dapat dilakukan oleh sang pakar intrik, Cesare Borgia.
Pada tahun 1498, Cesare berhasrat meninggalkan dunia kependetaan dan menginginkan sebuah posisi kebangsawanan. Meskipun Cesare masih menjadi Kardinal, Alexander merancang sebuah pernikahan antara Cesare dan Carlotta, anak perempuan Raja Naples. Sebuah penggabungan yang akan menarik para hartawan kota Tarento dengan Carlotta sebagai maskawinnya. Untuk mempercepat negosiasi-negosiasi yang dilakukan, Cesare meninggalkan dunia kependetaan, sebagian besar demi kesenangannya, yang juga membuatnya menjadi Duke Valentois. Raja Naples yang mempunyai ambisi-ambisi lain untuk anaknya, menolak tawaran Paus. Alexander yang tidak merasa terganjal oleh penolakan itu, membentuk sebuah persekutuan dengan raja baru Perancis, Louis XII, yang mengklaim kedua kerajaan Milan dan Naples sebagai warisan leluhurnya. Dalam rangka pembatalan pernikahan Louis, Raja Perancis tersebut akan menjodohkan Cesare dengan seorang putri, yang ternyata adalah Charlotte d’Albert, anak Duke of Guyenne. Mas kawinnya amat besar nilainya, dan pesta pernikahannya dilangsungkan sebagaimana mestinya. Malah menurut pernyataan dalam sebuah surat yang ditulis oleh Cesare kepada bapaknya, pesta pernikahan itu dirayakan dengan sempurna sebanyak delapan kali dalam semalam.
Cesare yang sekarang seorang sekutu Raja Perancis, menjadi seorang jenderal utama Louis XII yang memenangkan pertempuran-pertempuran penting di Romagna, sebuah negara-kota yang berbatasan dengan negara kepausan. Dia memasuki kota Roma dengan penuh kemenangan di bulan Pebruari tahun 1500 dengan menyeret di belakangnya dalam rantai emas, Caterina Sforza, Ratu Dua Kota yang telah dia taklukkan. Caterina dijebloskan ke dalam penjara, dan akan mati jika tidak ditengahi oleh Raja Perancis yang membebaskannya.
Perayaan tahun 1500 mengawali periode kemerosotan moral terbesar Alexander dan Cesare. Cesare menghibur gerombolan orang-orang Roma dengan membunuh lima ekor banteng di alun-alun St. Peter, yang kemudian menjadikannya sebagai seorang pahlawan Roma. Burchard yang setia memberikan beberapa gambaran tentang pesta pora gila-gilaan yang diadakan pada awal-awal bulan di tahun 1500. Bukan hanya gambaran tentang tembakan-tembakan tidak berperasaan yang dilakukan oleh Cesare kepada para pelaku kriminal yang tidak bersenjata (seperti yang telah diceritakan pada bagian Pengantar tulisan ini, pentj.), tetapi Burchard juga memberikan gambaran suatu peristiwa dimana Alexander, Cesare dan Lucrezia menonton dengan penuh kegirangan ketika lima puluh orang pelacur Roma bersetubuh dengan lima puluh orang pembantu istana, berlomba memperebutkan penghargaan-penghargaan sebagai “penampilan terbaik” yang dihadiahkan oleh Alexander. Seorang peminum yang sedang mabuk dipotong tangan dan lidahnya hanya karena menghina Cesare. Seorang Venesia yang menulis sebuah pamflet yang mengkritik Cesare dihukum dengan menenggelamkannya di sungai Tiber. Gregorvarius melaporkan bahwa Cesare, ketika menjawab permohonan-permohonan ampunan para korbannya, mengatakan, “Roma dibiasakan untuk menulis dan berbicara, tetapi aku akan mengajari masyarakat untuk menjadi waspada.”
Tetapi Cesare belum puas dengan hanya mengembalikan Roma ke dalam kancah kemenangan. Hadiah-hadiah hari Perayaan tahun 1500 masuk ke dalam peti uang simpanannya, dan Alexander berbagi dengannya atas sejumlah besar penghasilan yang didapat dari pembentukan sembilan orang Kardinal baru, masing-masing dari mereka telah membayar ribuan ducat. Tetap saja keluarga Borgia belum merasa puas. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh suami kedua Lucrezia, Duke Bisceglie, telah menghilangkan kepercayaan keluarga Borgia kepadanya. Perancis dan Spanyol bersatu menjatuhkan keluarga Bisceglie di Naples. Cesare mencekiknya begitu dia sembuh dari luka-luka akibat serangan pertama antek-antek Cesare. Alexander mungkin sekali tidak ikut merencanakan pembunuhan itu, tetapi inisiatif anaknya tersebut mengijinkannya merancang sebuah perkawinan ketiga bagi Lucrezia.
Setelah kematian Alexander di tahun 1503, Cesare pergi ke Spanyol, dan sekitar tiga tahun sesudah kepergian tersebut, Cesare gugur di Spanyol ketika bertempur dengan gagah berani sebagai seorang prajurit sewaan.
Sesudah beberapa bulan sejak perkawinannya dengan Charlotte di tahun 1498, Cesare tidak pernah melihat istrinya lagi, demikian juga anak perempuannya, Louise. Charlotte tetap setia pada ingatan tentang suaminya. Dia dan Louise kemudian memasuki sebuah biara lalu menjalani kehidupan yang saleh hingga saat kematiannya. Louise kemudian menikah dan mempunyai enam orang anak yang membangkitkan sebuah garis keturunan para prajurit yang berkompeten.
Dua anak haram Cesare, Camilla dan Girolamo, menjalani nasib yang berlainan. Camilla menjadi seorang kepala biara wanita yang sangat dihormati karena kealimannya. Si anak laki-laki, Girolamo, menjadi sebuah karakter yang bengis, kejam dan bertanggung jawab terhadap paling sedikit satu pembunuhan dan kemungkinan beberapa pembunuhan lainnya. Dia mati dan meninggalkan dua orang anak perempuan yang tidak diketahui nasibnya. Kecenderungan Cesare akan pembunuhan rupanya berakhir pada anak laki-laki haramnya.
Anehnya, warisan terakhir Cesare adalah kenyataan bahwa dia dipakai sebagai model karakter “Sang Pangeran” dalam buku terkenal karya Niccolo Machiavelli “The Prince”, seorang pemimpin yang giat berusaha mengembangkan dirinya sendiri semata-mata hanya melalui kekuatan kemauannya sendiri. Ketika kita mendengar kata sifat “Machiavellian”, sekali lagi kita merasakan kehadiran Cesare Borgia.
TERLAHIR sebagai Rodrigo Borgia di dekat Valencia, Spanyol, merupakan kemenakan Callixtus yang membuatnya menjadi seorang Kardinal pada umur dua puluh lima tahun (tahun 1456) dan vice chancellor6 di tahun 1457. Sebagai seorang vice chancellor, ia menimbun kekayaan pribadi yang banyak, menjalani hidup secara terbuka dan tidak pilih-pilih dalam bergaul, serta menjadi bapak bagi tujuh orang anak, baik sewaktu menjadi Kardinal maupun sebagai Paus. Pius II, yang menggantikan Callixtus dan melanjutkan dukungan untuk kenaikan Kardinal Rodrigo Borgia pada hierarki gereja, sudah mengingatkan Kardinal muda ini untuk menahan diri dari kebiasaannya berpartisipasi dalam pesta-pesta orgy. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Paus Pius II, sebagai sesuatu yang “tidak pantas”.
Sebagai seorang anak muda, Rodrigo digambarkan sebagai tinggi dan ganteng. Sigismondo de Conti mengatakan tentangnya sebagai seorang yang tinggi, tegap, dengan tatapan mata yang tajam, sangat ramah, dan “kemampuan yang menakjubkan dalam menangani masalah-masalah keuangan”. Lainnya mengagumi postur tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang kemerah-merahan, matanya yang gelap, dan mulutnya yang penuh.
Bagaimanapun juga, ternyata pada umur awal enam-puluhan ketika dia menjadi Paus, rupanya dia kehilangan pesona fisiknya. Kita hanya memiliki sedikit lukisan yang dapat diidentifikasikan sebagai lukisan diri yang sebenarnya; sebuah lukisan yang menggambarkan seorang Paus yang botak dan gemuk sedang berlutut dan berdoa di depan Kristus.
Ketika menjadi Kardinal, dia mengambil Vannozza de Catanei sebagai gundiknya, yang memberinya empat orang anak, termasuk Cesare (lahir di tahun 1475) dan Lucrezia (lahir di tahun 1480). Saat dia menjadi Paus di tahun 1492, dia membuang Vannozza dan memperoleh Guilia Farnese sebagai gundiknya; seorang wanita muda yang mungkin menjadi ibu atas dua atau tiga anak tambahan dari Alexander. Sebelum Vannozza, Rodrigo sudah menjadi bapak dari paling sedikit dua orang anak hasil hubungannya dengan satu atau lebih wanita yang nama-namanya hilang dari sejarah.
Paus Innocent VIII wafat, dan sebuah perjuangan politik terjadi untuk memperebutkan tahta kepausan. Tawar menawar terjadi sengit, dan ketika suara-suara yang masuk sudah dihitung secara final; Rodrigo Borgia, dengan membeli suara seorang Kardinal yang berumur 96 tahun dan sudah hampir kehilangan seluruh kemampuannya, akhirnya terpilih. Seorang dari enam orang Kardinal yang tidak bisa disuap adalah Giuliano della Rovere, yang tetap menjadi musuh keluarga Borgia dan akhirnya menggantikan Alexander VI sebagai Paus Julius II (ingat lukisan Michelangelo; the Warrior Pope (Paus Pejuang)).
Pada saat perayaan pentahbisan Rodrigo sebagai Paus Alexander VI yang rumit, dia juga “ditetapkan” sebagai seorang laki-laki, karena dari abad ke XIII dan sebagai akibat skandal mitos “Paus Joan”, Paus John yang dipercaya sebenarnya adalah wanita7, Paus terpilih yang baru harus bersedia menjalani “uji kebohongan” pada sebuah tempat duduk rendah dan berlobang (pemeriksa alat kelamin). Kenyataan bahwa Rodrigo, seorang bapak yang subur, mungkin telah menyamarkan jenis kelaminnya, merupakan sebuah pernyataan yang menggelikan pada kenaikannya menuju tahta puncak St. Peter.
Tetapi Rodrigo, sekarang Alexander VI, telah belajar banyak dari pendahulunya, Innocent VIII, Paus pertama yang mengakui secara terbuka anak haramnya dan menampilkan mereka dengan kekayaan dan gelar-gelar. Alexander mengambil keuntungan dari teladan ini.
Sesudah sebuah permulaan yang keras sebagai seorang Paus, yaitu memperbarui Curia8 dan Simony9 –yang tentu saja berarti dia sudah membeli kepausan- Alexander mengkonsentrasikan usahanya kepada minat-minatnya yang utama, yang seperti halnya Innocent VIII, berarti perolehan emas, mengejar wanita-wanita, dan kesenangan-kesenangan keluarganya. Dalam hal ini Alexander telah membuat pendahulunya kelihatan bertaraf amatiran. Dia namakan anak lelakinya Cesare, dan kemudian hanya dalam waktu delapan belas tahun, menjadikannya seorang Kardinal bersama dengan saudara selir Paus yang lebih muda, Alessandro Farnese. Dia merancang tiga buah perkawinan untuk anak perempuannya, Lucrezia, lalu secara cerdas membatalkan perkawinannya yang pertama, dan melalui upaya-upaya Cesare, dengan baik sekali membuat Lucrezia sebagai seorang janda pada perkawinan kedua. Lucrezia seringkali dibiarkan mengisi kelowongan jabatan Paus pada kepausan –yang sebagai akibatnya menjadi perwalian- ketika Alexander pergi dari Roma.
Alexander membentuk persekutuan-persekutuan melalui perkawinan-perkawinan anak-anaknya. Sebagai contoh, dia menghubungkan kekuatannya dengan faksi orang-orang Milan, menggabungkan keluarga-keluarga Borgia dan keluarga Sforza dengan mengawinkan Lucrezia pada Giovanni Sforza, anak haram Constanzo Sforza, sepupu kardinal yang berkuasa, Ascanio Sforza. Dia memperkuat posisinya dengan Kerajaan Aragon dan Naples dengan mengawinkan anak lakinya yang lebih muda, Jofre dengan Sancia dari Aragon, yang kemudian menipu suaminya dan melakukan perzinaan dengan Cesare serta Giovanni, saudara tua Jofre.
Di tahun 1493, Alexander mencoba membuat sebuah garis pemisah (garis demarkasi) di antara lingkungan pengaruh Spanyol dan Portugis pada Dunia Baru (the New World), tetapi ketetapan politik tentang daerah-daerah yang jauh ini dimodifikasi pada tahun 1494, karena pada bentuk awalnya ketetapan tersebut mengistimewakan tanah airnya, Spanyol. Dia juga menyiksa dan mengeksekusi pendeta Florentine terkenal Savonarola pada tahun 1498 yang secara terang-terangan mencela korupsi yang terjadi pada kepausan dan meminta agar Alexander dipecat.
Pada tahun 1500, tingkah laku Alexander –dengan dominasi pengaruh Cesare- makin menjadi-jadi. Perilaku amoral dan pembunuhan menjadi acara harian bagi kedua bapak dan anak tersebut.
Sesaat sesudah merayakan ulang tahun kesebelas kenaikannya ke kepausan, di bulan Agustus 1503, Alexander jatuh sakit. Atas kejadian yang kebetulan ini beredar sebuah rumor di Roma, dimana beberapa orang ahli seperti Mc Brien, percaya dengan kebenarannya. Alexander dan Cesare makan malam dengan Kardinal Adrian Corneto di villanya yang terbaru. Sudah lama dipercaya bahwa keluarga Borgia menargetkan Corneto menjadi korban mereka berikutnya. Tentu saja Corneto berpikir bahwa dia hendak diracun. Waktu hendak minum, dia menyelamatkan dirinya dengan menukar cangkir yang sudah disiapkan oleh Cesare untuknya. Yang tidak disangka-sangka adalah bahwa Alexander dan Cesare minum berdua tanpa beban dari cangkir-cangkir itu. Dalam beberapa hari Cesare sembuh dari keracunannya. Sang ayah masih tetap hidup beberapa hari kemudian dan meninggal pada usia tujuh puluh tahun.
Burchard, pembantu yang setia dan penulis buku harian yang rajin, melaporkan bahwa orang-orang Cesare memaksa masuk ke Vatikan dan merampok seluruh harta yang dapat mereka bawa, dan vandalisme ini berlangsung ketika Paus berjuang untuk tetap hidup.
Begitu Alexander wafat, para pembantunya menjarah kamar tidurnya. Sesudah Burchard menyiapkan mayat tersebut, para penjaga utama mengumpulkan para pendeta untuk menjaga mayat Paus dari kemungkinan penodaan atas kemarahan (atau lebih tepatnya luapan kegirangan) masyarakat Roma. Tetapi akhirnya Burchard mendapati bahwa mayat itu dipindah ke sebuah kapel kecil, dimana mayat tersebut tidak diawasi, perlahan membusuk dalam lembabnya cuaca bulan Agustus yang mencekam Roma.
Ketika Burchard kembali dengan para pembantu hendak menyiapkan si mayat untuk dimakamkan, dia menemukan tubuh Alexander menggelembung dan menghitam, demikian bengkak sehingga tidak muat ke dalam peti matinya. Para pembantu akhirnya melepas korset sang Paus, baru benar-benar berhasil memasukkannya ke dalam peti mati.
“Demikianlah sang Paus Alexander wafat dalam puncak kemuliaan dan kemakmuran. Padanya terdapat, dalam takaran penuh, semua sifat-sifat buruk baik yang sudah terwujud maupun yang masih berupa semangat. Padanya tidak terdapat agama, tidak terdapat kemauan menjaga perkataannya. Dia menjanjikan semua hal secara royal, tetapi membatasi dirinya sendiri terhadap hal-hal yang tidak berguna baginya. Dia tidak peduli dengan hukum, dan karena itu pada masanya Roma menjadi sarang pencuri dan pembunuh. Meskipun begitu, dosa-dosanya tidak mendapat hukuman di dunia ini, dia menjalani hari-hari terakhirnya dengan kondisinya yang amat makmur. Dalam satu kata, dia lebih jahat dan lebih beruntung dari, mungkin, Paus-paus siapapun juga sebelumnya.”
Francesco Guicciardini (sebagaimana dilaporkan dalam Chamberlain).
Kekuatan yang membuat Alexander gila-gilaan itu dapatlah dipahami ketika seseorang melihat keruntuhan total kerajaan Cesare setelah kematian ayahnya.
Tetapi membaca riwayat Cesare pada tulisan berikutnya, ternyata Alexander masih terhitung lunak.
III. CESARE
(1475-1507, Kardinal dari tahun 1493-1498)
Jika ada keluarga Borgia yang diingat saat ini, maka itu adalah kedua anak Alexander VI, dimana orang-orang mengetahui, bahwa hanya dengan kejahatanlah nama-nama mereka dihubungkan. Cesare, sang pembunuh dan petualang, dan Lucrezia, sang peracun. Keterangan-keterangan tentang keduanya menceritakan terlalu banyak tetapi juga terlalu sedikit.
Lukisan “Cesare Borgia” oleh Bembo di Galleria dell Accademia Carrara>>
Sebuah gambaran tentang kekuatan, pesona dan kekejaman Cesare Borgia dapat dilihat pada sebuah lukisan dirinya, mungkin dilukis sekitar tahun 1500 oleh Gianfrancesco Bembo.
Lukisan tersebut tentang seorang laki-laki yang ganteng, tanpa senyum, gelap, mengancam, matanya terletak berjauhan. Seseorang dapat merasakan kebenaran dari komentar Baluze (seorang pengamat kontemporer):
“Paus amat menyayangi putranya, dan juga sangat takut padanya.”
Cesare adalah anak laki-laki tertua dari anak-anak yang lahir akibat hubungan Alexander dan Vannozza de Catanei dalam masa jabatan Alexander sebagai Kardinal Rodrigo Borgia.
Jadi Cesare adalah anak pertama dari keluarga kedua Rodrigo. Kelompok pertama anak-anak haramnya yang diketahui berasal dari satu atau lebih wanita, dimulai oleh Pedro Luis (1462-1488), Duke pertama Gandia, yang naik menguasai duchy10 di Spanyol itu melalui intrik-intrik sang ayah.
<< Lukisan “Vannozza Cattanei” (Hachette)
Di tahun 1480, Paus Sixtus IV membuat sebuah Papal Bull11 yang “membuktikan” bahwa Cesare berasal dari kelahiran yang sah, dan mengijinkannya memperoleh benfices atau pendapatan dari berbagai kantor yang telah ditetapkan oleh Sixtus. Pada umur tujuh tahun Cesare diberi gelar yang memungkinkannya memperoleh prebend12 dari Katedral Valencia, dan sesudah itu dalam waktu singkat dia juga mendapatkan gelar apostolic protonotary atau “orang terkemuka pada Kanselir Kepausan”. Kedua gelar itu memberikan banyak benfices, yaitu gaji-gaji. Di umur sembilan tahun, Cesare menjadi Rector Gandia, Provost13 Albar dan Jativa, dan terakhir sebagai bendaharawan Cartagena. Pengangkatan-pengangkatan ini tentu saja merupakan hadiah yang diberikan atas pengaruh ayahnya, Rodrigo, yang memastikan harta-harta benda kependetaan di Valencia tetap berada didalam kontrol keluarga Borgia.
Cesare mempunyai saudara laki-laki yang lebih muda, anak kedua Vannozza yang bernama Giovanni. Ketika kakak tirinya yang bernama Pedro Luis, Duke pertama Gandia meninggal, Rodrigo menjadikan Giovanni sebagai Duke kedua Gandia. Jadi Rodrigo telah menetapkan Cesare untuk memiliki sebuah karir kependetaan yang memperkokoh pengaruh keluarga Borgia pada Gereja. Giovanni, saudara laki-lakinya yang lebih muda, akan menjadi –sebagaimana akan kita lihat- seorang korban pertama Cesare.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cloulas, pendidikan Cesare direncanakan secara hati-hati oleh Rodrigo. Cesare dibawa ke Roma hingga berumur dua belas tahun, dan dididik oleh para guru yang berpengalaman. Kemudian dia dikirim ke Perugia dalam pengawasan seorang guru Valencia yang kemudian menjadi Kardinal, sebagai hadiah untuk jasa tutorial tersebut.
Cesare mempelajari hukum dan humaniora di universitas, kemudian ke Universitas Pisa untuk belajar teologi. Pada akhir pendidikannya ini, ayahnya yang sekarang menjadi Paus Alexander VI, menjadikannya sebagai seorang Kardinal.
Di tahun 1493, sesudah menghadiri sebuah acara makan malam keluarga bersama ibunya, Vannozza dan saudara tuanya, Cesare; Giovanni, Duke Gandia yang kedua menghilang. Dia berkuda hingga petang bersama Cesare, teman-temannya dan para pembantu. Kemudian ditinggalkannya mereka semua, dan berkuda ke arah istana kepausan dengan ditemani oleh seorang pembantu dan seorang misterius dari sebuah festival topeng. Dia tidak pernah kelihatan hidup-hidup lagi. Sore hari berikutnya, ketika mencari Giovanni, para pencari datang dengan seorang saksi yang telah melihat dua orang laki-laki menceburkan sesosok tubuh manusia ke dalam sungai Tiber. Sungai Tiber akhirnya diaduk-aduk oleh sekitar tiga ratus orang pencari, dan sesudah mencari sepanjang malam, tubuh itu ditemukan siang hari berikutnya. Dia tetap memakai pakaian indahnya dengan dompet yang berisi uang tiga puluh ducat, tetapi tenggorokannya digorok dan tubuhnya direjam dengan luka-luka tikaman yang keji.
Begitu mendengar kematian anaknya, Alexander menjadi marah dan berduka, lalu menyatakan bahwa dia telah memutuskan untuk “mengubah kehidupan kita dan mereformasi Gereja. Kita meninggalkan semua bentuk nepotisme. Kita akan mulai mengadakan perubahan pada diri kita sendiri dan diteruskan ke seluruh tingkatan Gereja sampai seluruh pekerjaan selesai.” Seringkali kesungguhan Alexander tidak sesuai dengan pernyataannya, dan akhirnya kembali kepada cara-cara lamanya, mengabaikan janji-janji. Sebagai pendeta, dia tidak lebih siap untuk mengalami perubahan dibandingkan dengan keinginannya meneruskan program-programnya sendiri dalam politik dan kesenangan.
Pembunuh Giovanni tidak ditemukan, tetapi sekitar satu tahun sesudah kematiannya, yaitu sewaktu Cesare menanggalkan jubah kardinalnya untuk memperoleh jabatan duniawi, rumor yang berkembang menyatakan bahwa Cesarelah yang membunuh saudaranya itu. Motifnya menurut dugaan adalah kecemburuan Cesare terhadap sukses duniawi Giovanni, serta keinginannya untuk memperoleh gelar-gelar dan tanda-tanda jasa Giovanni bagi dirinya sendiri. Sebagaimana tampaknya, kecil kemungkinan bahwa Cesare membunuh saudaranya, karena Giovanni mempunyai seorang putra yang bernama Giovanni juga, yang segera menjadi Duke Gandia ketiga. Motif pembunuhan itu kemungkinan adalah balas dendam seorang suami yang cemburu, yang konsisten dengan perilaku seksual keterlaluan para anggota keluarga Borgia.
Sekali ini, keterangan di atas tidak menegaskan peranan Cesare sebagai seorang pembunuh, tetapi perilaku Cesare di kemudian hari membuat sulit bagi penduduk Roma untuk percaya bahwa dia tidak terlibat peristiwa pembunuhan Giovanni. Meskipun begitu, sudah jelas bahwa kematian Giovanni telah melapangkan jalan Cesare untuk menjadi orang biasa sekali lagi, yang memungkinkannya memperoleh pemberian posisi-posisi kebangsawanan yang melebihi tanda-tanda jasa Giovanni dari sang bapak. Keyakinan yang menyatakan bahwa Cesare merupakan pembunuh Giovanni diperlihatkan oleh sejarawan sejamannya yaitu Sanudo dan Guicciardini yang percaya bahwa sebuah pembunuhan Giovanni yang sempurna hanya dapat dilakukan oleh sang pakar intrik, Cesare Borgia.
Pada tahun 1498, Cesare berhasrat meninggalkan dunia kependetaan dan menginginkan sebuah posisi kebangsawanan. Meskipun Cesare masih menjadi Kardinal, Alexander merancang sebuah pernikahan antara Cesare dan Carlotta, anak perempuan Raja Naples. Sebuah penggabungan yang akan menarik para hartawan kota Tarento dengan Carlotta sebagai maskawinnya. Untuk mempercepat negosiasi-negosiasi yang dilakukan, Cesare meninggalkan dunia kependetaan, sebagian besar demi kesenangannya, yang juga membuatnya menjadi Duke Valentois. Raja Naples yang mempunyai ambisi-ambisi lain untuk anaknya, menolak tawaran Paus. Alexander yang tidak merasa terganjal oleh penolakan itu, membentuk sebuah persekutuan dengan raja baru Perancis, Louis XII, yang mengklaim kedua kerajaan Milan dan Naples sebagai warisan leluhurnya. Dalam rangka pembatalan pernikahan Louis, Raja Perancis tersebut akan menjodohkan Cesare dengan seorang putri, yang ternyata adalah Charlotte d’Albert, anak Duke of Guyenne. Mas kawinnya amat besar nilainya, dan pesta pernikahannya dilangsungkan sebagaimana mestinya. Malah menurut pernyataan dalam sebuah surat yang ditulis oleh Cesare kepada bapaknya, pesta pernikahan itu dirayakan dengan sempurna sebanyak delapan kali dalam semalam.
Cesare yang sekarang seorang sekutu Raja Perancis, menjadi seorang jenderal utama Louis XII yang memenangkan pertempuran-pertempuran penting di Romagna, sebuah negara-kota yang berbatasan dengan negara kepausan. Dia memasuki kota Roma dengan penuh kemenangan di bulan Pebruari tahun 1500 dengan menyeret di belakangnya dalam rantai emas, Caterina Sforza, Ratu Dua Kota yang telah dia taklukkan. Caterina dijebloskan ke dalam penjara, dan akan mati jika tidak ditengahi oleh Raja Perancis yang membebaskannya.
Perayaan tahun 1500 mengawali periode kemerosotan moral terbesar Alexander dan Cesare. Cesare menghibur gerombolan orang-orang Roma dengan membunuh lima ekor banteng di alun-alun St. Peter, yang kemudian menjadikannya sebagai seorang pahlawan Roma. Burchard yang setia memberikan beberapa gambaran tentang pesta pora gila-gilaan yang diadakan pada awal-awal bulan di tahun 1500. Bukan hanya gambaran tentang tembakan-tembakan tidak berperasaan yang dilakukan oleh Cesare kepada para pelaku kriminal yang tidak bersenjata (seperti yang telah diceritakan pada bagian Pengantar tulisan ini, pentj.), tetapi Burchard juga memberikan gambaran suatu peristiwa dimana Alexander, Cesare dan Lucrezia menonton dengan penuh kegirangan ketika lima puluh orang pelacur Roma bersetubuh dengan lima puluh orang pembantu istana, berlomba memperebutkan penghargaan-penghargaan sebagai “penampilan terbaik” yang dihadiahkan oleh Alexander. Seorang peminum yang sedang mabuk dipotong tangan dan lidahnya hanya karena menghina Cesare. Seorang Venesia yang menulis sebuah pamflet yang mengkritik Cesare dihukum dengan menenggelamkannya di sungai Tiber. Gregorvarius melaporkan bahwa Cesare, ketika menjawab permohonan-permohonan ampunan para korbannya, mengatakan, “Roma dibiasakan untuk menulis dan berbicara, tetapi aku akan mengajari masyarakat untuk menjadi waspada.”
Tetapi Cesare belum puas dengan hanya mengembalikan Roma ke dalam kancah kemenangan. Hadiah-hadiah hari Perayaan tahun 1500 masuk ke dalam peti uang simpanannya, dan Alexander berbagi dengannya atas sejumlah besar penghasilan yang didapat dari pembentukan sembilan orang Kardinal baru, masing-masing dari mereka telah membayar ribuan ducat. Tetap saja keluarga Borgia belum merasa puas. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh suami kedua Lucrezia, Duke Bisceglie, telah menghilangkan kepercayaan keluarga Borgia kepadanya. Perancis dan Spanyol bersatu menjatuhkan keluarga Bisceglie di Naples. Cesare mencekiknya begitu dia sembuh dari luka-luka akibat serangan pertama antek-antek Cesare. Alexander mungkin sekali tidak ikut merencanakan pembunuhan itu, tetapi inisiatif anaknya tersebut mengijinkannya merancang sebuah perkawinan ketiga bagi Lucrezia.
Setelah kematian Alexander di tahun 1503, Cesare pergi ke Spanyol, dan sekitar tiga tahun sesudah kepergian tersebut, Cesare gugur di Spanyol ketika bertempur dengan gagah berani sebagai seorang prajurit sewaan.
Sesudah beberapa bulan sejak perkawinannya dengan Charlotte di tahun 1498, Cesare tidak pernah melihat istrinya lagi, demikian juga anak perempuannya, Louise. Charlotte tetap setia pada ingatan tentang suaminya. Dia dan Louise kemudian memasuki sebuah biara lalu menjalani kehidupan yang saleh hingga saat kematiannya. Louise kemudian menikah dan mempunyai enam orang anak yang membangkitkan sebuah garis keturunan para prajurit yang berkompeten.
Dua anak haram Cesare, Camilla dan Girolamo, menjalani nasib yang berlainan. Camilla menjadi seorang kepala biara wanita yang sangat dihormati karena kealimannya. Si anak laki-laki, Girolamo, menjadi sebuah karakter yang bengis, kejam dan bertanggung jawab terhadap paling sedikit satu pembunuhan dan kemungkinan beberapa pembunuhan lainnya. Dia mati dan meninggalkan dua orang anak perempuan yang tidak diketahui nasibnya. Kecenderungan Cesare akan pembunuhan rupanya berakhir pada anak laki-laki haramnya.
Anehnya, warisan terakhir Cesare adalah kenyataan bahwa dia dipakai sebagai model karakter “Sang Pangeran” dalam buku terkenal karya Niccolo Machiavelli “The Prince”, seorang pemimpin yang giat berusaha mengembangkan dirinya sendiri semata-mata hanya melalui kekuatan kemauannya sendiri. Ketika kita mendengar kata sifat “Machiavellian”, sekali lagi kita merasakan kehadiran Cesare Borgia.
Skandal dan Kriminal Paus Borgia [1]
Paus Borgia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Paus Alexander VI, dinilai Paus paling buruk dalam sejarah. Dia dengan kontribusi anak-anaknya: Cesare dan Lucrezia dianggap telah menorehkan kerakusan akan harta, pembunuhan-pembunuhan, dan incest, yang menjadikan dirinya dan kedua anaknya disebut oleh Russell Aiuto (penulis artikel ini) sebagai the First Crime Family, Keluarga Kriminal yang Pertama. Bayangkan, seorang Paus mendapat julukan semacam itu. Bagaimana, orang-orang yang merasa dirinya muslim?
Secara berkala, hidayatullah.com akan mempublikasikan hasil riset Russell Aiuto ini. Sumber utama artikel ini adalah situs www.crimelibrary.com
***
Keluarga “Ganjil” Borgia
PARA penjaga kepausan mendorong para kriminal yang acak-acakan itu ke tengah alun-alun St. Peter. Mereka dibelenggu pada pergelangan tangannya dan dikumpulkan secara bergerombol di dekat pusat alun-alun. Para penjaga membentuk sebuah garis pada jalan masuk menuju alun-alun, menghalangi pelarian para tahanan. Para tahanan memandang ke atas, ke jendela-jendela Vatikan, di mana pada sebuah balkon kecil di sebuah jendela yang agak besar, Paus yang berusia 70 tahun Alexander VI (nama aslinya Rodrigo Borgia), berdiri bersama anak perempuannya yang berusia 20 tahun, Lucrezia Borgia. Keduanya tersenyum. Beberapa jendela di sebelahnya, dalam pakaian lengkap beludru hitam, adalah anak laki-laki Alexander, Cesare Borgia. Di sebelahnya berdiri seorang pembantu yang juga berpakaian hitam seluruhnya.
Di manakah para tahanan itu mendengar kata-kata belas kasih, sebuah keringanan dermawan atas perbuatan-perbuatan kriminal mereka, dari yang remeh sampai yang serius? Mungkin mereka terlalu berharap.
Tiba-tiba seorang tahanan jatuh, ditembak oleh Cesare. Para tahanan berhamburan seluruhnya di alun-alun, setelah tahu bahwa ada seseorang pada salah satu jendela itu yang menembak mereka. Setiap selesai sebuah tembakan, si pembantu memberi Cesare sepucuk senapan baru –terisi penuh dengan mesiu-, dan dia menembak lagi. Setiap tembakan diikuti oleh sebuah senapan baru dan tembakan lain. Dalam bilangan menit, seluruh tahanan itu mati.
Alexander melambaikan tangannya kepada sang anak. “Bidikan yang bagus, nak,” kata Paus. Cesare tersenyum dan balas melambai, lalu ia dan pembantunya meninggalkan jendela dan memasuki apartemen Vatikan. Empat orang pegawai, dengan menarik sebuah gerobak, mulai mengangkat mayat-mayat tersebut dan memasukkannya ke dalam karung goni. “Hasil panen” Cesare tersebut dibawa pergi, untuk ditenggelamkan ke dalam sungai Tiber.
Detil-detil gambaran di atas merupakan imajinasi, tetapi fakta-fakta dasar atas kejadian tersebut sepenuhnya benar. Johannes Burchard, kepala upacara kepausan, pembantu tuannya yang setia, Alexander VI, merekam gambaran di atas pada catatan hariannya.
Keluarga Borgia adalah sebuah keluarga yang ganjil dan amat membingungkan. Sebelas Kardinal Gereja Katolik Romawi Suci. Tiga orang Paus. Seorang Ratu Inggris. Seorang suci (Saint). Sebuah keluarga dengan tentakel-tentakel panjang yang bermula dari abad ke XIV di Spanyol, lalu merentang melalui sejarah abad XV dan XVI di Italia, Spanyol dan Perancis. Kerakusan, pembunuhan, incest, dan anehnya,……. juga saleh.
Warisan keluarga Borgia memperlihatkan dirinya sendiri dalam sebuah periode sejarah Italia yang paling gilang gemilang, dan karena itu dalam berbagai jalan, mendominasi Renaissance dengan kekuatan dan intrik selama lima puluh tahun. Melalui jalan-jalan tertentu, warisan itu terasa pengaruhnya pada gereja dan negara selama dua ratus tahun.
Dari keluarga yang terkenal karena nama buruknya ini, terdapat empat orang yang secara terpisah paling diingat secara samar-samar, sebagai contoh-contoh ketamakan dan kejahatan yang luar biasa. Dua di antaranya adalah Paus Callixtus III (Alonso Borgia) dan Alexander VI (Rodrigo Borgia). Lainnya, Cesare Borgia, sekali waktu menjadi seorang Kardinal yang naik ke posisi tersebut karena pengetahuan dan pengaruh sang ayah, Alexander VI. Selanjutnya, setelah meninggalkan ordo-ordo suci, menjadi seorang Duke yang bengis dan kejam. Anggota keempat menjadi sebuah kiasan untuk wanita jahat: Lucrezia Borgia, adik perempuan Cesare.
Ketika anggota-anggota keluarga lainnya membuat pertunjukan-pertunjukan penting pada drama kekuatan keluarga, empat orang ini membentuk nukleus untuk mana keluarga ini akan diingat sejarah. Mereka ganteng, ramah, tetapi juga amoral. Seperti don Mafia, mereka menginspirasikan kebanggaan dan loyalitas. Tetapi lebih dari segalanya, mereka menginspirasikan ketakutan:
“Aku berjumpa dengan Cesare kemarin di gedung di Trastevere; dia berpakaian berburu dengan kostum yang sepenuhnya duniawi: berpakaian sutra dan bersenjata. Ia hanya memakai sebuah tonsure kecil seperti seorang pendeta biasa. Aku berkuda ke arah yang berlawanan dengannya sebentar, kemudian berkuda bersama: aku berhubungan akrab dengannya. Ia memiliki tanda-tanda genius dan personalitas yang ramah, yang menampilkan dirinya bagaikan seorang pangeran. Ia terutama sekali bersemangat dan gembira serta amat menyukai keramaian. Archbishop ini tidak pernah punya keinginan untuk menjadi pendeta, tetapi para pendeta dermawan mengiriminya lebih dari 16.000 ducat setiap tahunnya.”
Andrea Boccaccio, tentang Cesare Borgia ketika menjadi pendeta, sebelum diangkat menjadi Kardinal.
Tidak seperti Caligula yang gila, yang membunuh untuk kesenangan, atau Nero dan para pendahulunya, yang membunuh untuk alasan dan pertimbangan politik; keluarga Borgia membunuh bukan hanya untuk kesenangan dan pertimbangan politik, tetapi juga untuk kekayaan pribadi. Mereka tidak dilambungkan bersama oleh ritual berdarah, tetapi oleh gen-gen pembawa sifat.
Paus-Paus Borgia
Siapa sebenarnya orang-orang ini? Darimana mereka datang, dan bagaimana caranya sehingga mereka naik menuju kekuasaan? Mereka mengawali dinasti mereka di Spanyol pada tahun-tahun terakhir di abad XIV, sebagai sebuah keluarga yang dikenal dengan nama de Borya.
Dua saudara sepupu Spanyol, Domingo de Borya dan Rodrigo de Borya menghasilkan anak-anak yang akan menggabungkan garis keturunannya ke dalam apa yang nantinya menjadi keluarga Borgia Italia. Anak perempuan Domingo, Isabella, menikah dengan anak laki-laki Rodrigo, Jofre.
Cerita dimulai oleh saudara Isabella, Alfonso de Borya, Paus Callixtus III. Sejarah keluarga mengenai ketamakan dan pengejaran kekuasaan politik di masa-masa sesudahnya, lahir bersama dia. Untuk memahami keluarga Borgia, sebagaimana terkenalnya keluarga de Borya di Italia, seseorang harus mengetahui tentang patriarch, yaitu orang-orang yang menjadi asal muasal sebuah keluarga yang melampaui kelebihan-kelebihan keluarga-keluarga lain pada suatu zaman, seperti misalnya keluarga Medici, Orsini, Sforza, dan keluarga della Rovere.
Keluarga Borgia mengawali sejarah mereka yang penuh warna dengan nepotisme dan akuisisi kekayaan pribadi, lalu beralih kepada agenda yang lebih rumit tentang pembunuhan-pembunuhan.
a. CALLIXTUS III (1378-1458, Paus dari tahun 1455-1458).
Paus Spanyol pertama, Callixtus III, sudah berusia 77 tahun ketika naik singgasana Petrus di tahun 1455; seorang kandidat kompromistis di antara fraksi-fraksi yang bertikai. Tua, dikuatkan lagi dengan janggut, ia kelihatan sebagai pilihan yang aman dan sementara. Ia memerintah hanya selama tiga tahun, tetapi dalam waktu yang pendek itu ia mampu mengangkat dua kemenakan laki-lakinya menjadi kardinal. Seorang di antaranya, Rodrigo, anak dari adik perempuannya, akhirnya menjadi Paus Spanyol kedua dan terakhir, Alexander VI yang keji.
Callixtus, terlahir sebagai Alfonso de Borya, sudah menjadi Kardinal di Valencia ketika di tahun 1429 Paus Martin V mempromosikannya kepada Bishop Valencia. Kardinal Alfonso yang berhasil mendekati Paus Prancis yang memusuhi kepausan Roma, Clement VIII, untuk menerima otoritas Martin, sepatutnya menerima penghargaan untuk pertolongannya dalam mengakhiri the Great Schism (Perpecahan Akbar) pada Gereja Katolik, di mana dua orang Paus tersebut, satu di Prancis dan satu di Roma, memerintah Gereja.
Sebagai Paus, Callixtus segera mengorganisasi sebuah perang salib untuk membebaskan Constatinopel dari bangsa Turki. Untuk membiayai proyek ini, dia menjual karya-karya seni dari emas dan perak, buku-buku berharga, menjual keikutsertaan atau jabatan –jabatan-jabatan dalam urusan Kardinal, pembatalan-pembatalan dana untuk daerah-daerah kepausan-, dan pembebanan pajak. Dia hanya menuai sedikit sukses dari proyek tersebut, karena kebanyakan penguasa-penguasa Kristen Eropa tidak tertarik dengan alasan-alasan pelaksanaan perang salib itu dan menolak berpartisipasi. Para raja-raja Eropa mendukung perang salib secara prinsip, tetapi tidak dengan kekuatan yang nyata.
Tetapi cara-cara Callixtus yang tidak benar dalam memperoleh uang, nepotismenya yang arogan, dan keputusan-keputusannya yang cenderung kasar melawan orang-orang Yahudi, telah menciptakan oposisi di Perancis, Jerman dan negara asalnya, Spanyol. Ketika dia meninggal, orang-orang Italia mengalihkan kemarahannya kepada jenderal-jenderal dan administrator-administrator Callixtus, dan menceburkan Roma ke dalam teror. Orang-orang Spanyol –yang disebut Catalan- dicaci maki. Hanya kemenakan Callixtus yang pintar, Kardinal Rodrigo Borgia, lolos dari kemarahan massa.
Untuk menunjang keinginannya menciptakan seorang Paus masa depan dalam diri kemenakannya Rodrigo (terpisah dari masa kepausan Callixtus oleh empat orang Paus dan masa 34 tahun), Callixtus juga teringat untuk membatalkan hukuman terhadap Joan of Arc dan mengampuninya dari tuduhan bid’ah, di mana pembatalan itu merupakan konsesi politik untuk mengubah sikap terhadap Gadis dari Orleans (the Maid of Orleans) tersebut.
Secara kebetulan, dia meninggal saat Pesta Transfigurasi (6 Agustus 1458), sebuah hari suci yang dia ciptakan setelah kekalahan bangsa Turki di luar Belgrado. Hari itu tetap merupakan hari suci dalam pandangan Gereja Katolik Roma modern dan the Anglican Communion (Komunitas Anglikan). Dia dimakamkan di Gereja Spanyol di Roma.
Callixtus mungkin bukan seorang pembunuh, tetapi secara politis ia zalim, kejam, tamak, dan dengan berbagai jalan mengatur agenda keturunan Borgia yang akan mengikuti jejaknya.
b. ALEXANDER VI (1431-1503, Paus dari tahun 1492-1503).
Alexander adalah Paus yang terkenal paling buruk dalam sejarah. Dia memimpin sebuah kepausan yang penuh dengan nepotisme, kerakusan, kekejaman, pembunuhan, dan sebagaimana Mc Brien menyebutnya, “unbridled sensuality” (“sensualitas yang tak terkendalikan”). Dia menjadi figur utama dalam saga keluarga Borgia, baik sebagai seorang pemelihara kejahatan, maupun sebagai fasilitator aktivitas-aktivitas kedua anaknya yang paling terkenal, Cesare dan Lucrezia.
Paus Spanyol yang kedua dan yang terakhir ini secara harfiah membeli kepausannya dengan penyuapan-penyuapan. Seperti “pembelian” pemilihan Paus yang disebut “simoniacal”, yang diselesaikan dengan mudah melalui pemungutan suara oleh tujuh belas orang dari dua puluh dua orang Kardinal yang tamak untuk Paus yang baru.
Secara berkala, hidayatullah.com akan mempublikasikan hasil riset Russell Aiuto ini. Sumber utama artikel ini adalah situs www.crimelibrary.com
***
Keluarga “Ganjil” Borgia
PARA penjaga kepausan mendorong para kriminal yang acak-acakan itu ke tengah alun-alun St. Peter. Mereka dibelenggu pada pergelangan tangannya dan dikumpulkan secara bergerombol di dekat pusat alun-alun. Para penjaga membentuk sebuah garis pada jalan masuk menuju alun-alun, menghalangi pelarian para tahanan. Para tahanan memandang ke atas, ke jendela-jendela Vatikan, di mana pada sebuah balkon kecil di sebuah jendela yang agak besar, Paus yang berusia 70 tahun Alexander VI (nama aslinya Rodrigo Borgia), berdiri bersama anak perempuannya yang berusia 20 tahun, Lucrezia Borgia. Keduanya tersenyum. Beberapa jendela di sebelahnya, dalam pakaian lengkap beludru hitam, adalah anak laki-laki Alexander, Cesare Borgia. Di sebelahnya berdiri seorang pembantu yang juga berpakaian hitam seluruhnya.
Di manakah para tahanan itu mendengar kata-kata belas kasih, sebuah keringanan dermawan atas perbuatan-perbuatan kriminal mereka, dari yang remeh sampai yang serius? Mungkin mereka terlalu berharap.
Tiba-tiba seorang tahanan jatuh, ditembak oleh Cesare. Para tahanan berhamburan seluruhnya di alun-alun, setelah tahu bahwa ada seseorang pada salah satu jendela itu yang menembak mereka. Setiap selesai sebuah tembakan, si pembantu memberi Cesare sepucuk senapan baru –terisi penuh dengan mesiu-, dan dia menembak lagi. Setiap tembakan diikuti oleh sebuah senapan baru dan tembakan lain. Dalam bilangan menit, seluruh tahanan itu mati.
Alexander melambaikan tangannya kepada sang anak. “Bidikan yang bagus, nak,” kata Paus. Cesare tersenyum dan balas melambai, lalu ia dan pembantunya meninggalkan jendela dan memasuki apartemen Vatikan. Empat orang pegawai, dengan menarik sebuah gerobak, mulai mengangkat mayat-mayat tersebut dan memasukkannya ke dalam karung goni. “Hasil panen” Cesare tersebut dibawa pergi, untuk ditenggelamkan ke dalam sungai Tiber.
Detil-detil gambaran di atas merupakan imajinasi, tetapi fakta-fakta dasar atas kejadian tersebut sepenuhnya benar. Johannes Burchard, kepala upacara kepausan, pembantu tuannya yang setia, Alexander VI, merekam gambaran di atas pada catatan hariannya.
Keluarga Borgia adalah sebuah keluarga yang ganjil dan amat membingungkan. Sebelas Kardinal Gereja Katolik Romawi Suci. Tiga orang Paus. Seorang Ratu Inggris. Seorang suci (Saint). Sebuah keluarga dengan tentakel-tentakel panjang yang bermula dari abad ke XIV di Spanyol, lalu merentang melalui sejarah abad XV dan XVI di Italia, Spanyol dan Perancis. Kerakusan, pembunuhan, incest, dan anehnya,……. juga saleh.
Warisan keluarga Borgia memperlihatkan dirinya sendiri dalam sebuah periode sejarah Italia yang paling gilang gemilang, dan karena itu dalam berbagai jalan, mendominasi Renaissance dengan kekuatan dan intrik selama lima puluh tahun. Melalui jalan-jalan tertentu, warisan itu terasa pengaruhnya pada gereja dan negara selama dua ratus tahun.
Dari keluarga yang terkenal karena nama buruknya ini, terdapat empat orang yang secara terpisah paling diingat secara samar-samar, sebagai contoh-contoh ketamakan dan kejahatan yang luar biasa. Dua di antaranya adalah Paus Callixtus III (Alonso Borgia) dan Alexander VI (Rodrigo Borgia). Lainnya, Cesare Borgia, sekali waktu menjadi seorang Kardinal yang naik ke posisi tersebut karena pengetahuan dan pengaruh sang ayah, Alexander VI. Selanjutnya, setelah meninggalkan ordo-ordo suci, menjadi seorang Duke yang bengis dan kejam. Anggota keempat menjadi sebuah kiasan untuk wanita jahat: Lucrezia Borgia, adik perempuan Cesare.
Ketika anggota-anggota keluarga lainnya membuat pertunjukan-pertunjukan penting pada drama kekuatan keluarga, empat orang ini membentuk nukleus untuk mana keluarga ini akan diingat sejarah. Mereka ganteng, ramah, tetapi juga amoral. Seperti don Mafia, mereka menginspirasikan kebanggaan dan loyalitas. Tetapi lebih dari segalanya, mereka menginspirasikan ketakutan:
“Aku berjumpa dengan Cesare kemarin di gedung di Trastevere; dia berpakaian berburu dengan kostum yang sepenuhnya duniawi: berpakaian sutra dan bersenjata. Ia hanya memakai sebuah tonsure kecil seperti seorang pendeta biasa. Aku berkuda ke arah yang berlawanan dengannya sebentar, kemudian berkuda bersama: aku berhubungan akrab dengannya. Ia memiliki tanda-tanda genius dan personalitas yang ramah, yang menampilkan dirinya bagaikan seorang pangeran. Ia terutama sekali bersemangat dan gembira serta amat menyukai keramaian. Archbishop ini tidak pernah punya keinginan untuk menjadi pendeta, tetapi para pendeta dermawan mengiriminya lebih dari 16.000 ducat setiap tahunnya.”
Andrea Boccaccio, tentang Cesare Borgia ketika menjadi pendeta, sebelum diangkat menjadi Kardinal.
Tidak seperti Caligula yang gila, yang membunuh untuk kesenangan, atau Nero dan para pendahulunya, yang membunuh untuk alasan dan pertimbangan politik; keluarga Borgia membunuh bukan hanya untuk kesenangan dan pertimbangan politik, tetapi juga untuk kekayaan pribadi. Mereka tidak dilambungkan bersama oleh ritual berdarah, tetapi oleh gen-gen pembawa sifat.
Paus-Paus Borgia
Siapa sebenarnya orang-orang ini? Darimana mereka datang, dan bagaimana caranya sehingga mereka naik menuju kekuasaan? Mereka mengawali dinasti mereka di Spanyol pada tahun-tahun terakhir di abad XIV, sebagai sebuah keluarga yang dikenal dengan nama de Borya.
Dua saudara sepupu Spanyol, Domingo de Borya dan Rodrigo de Borya menghasilkan anak-anak yang akan menggabungkan garis keturunannya ke dalam apa yang nantinya menjadi keluarga Borgia Italia. Anak perempuan Domingo, Isabella, menikah dengan anak laki-laki Rodrigo, Jofre.
Cerita dimulai oleh saudara Isabella, Alfonso de Borya, Paus Callixtus III. Sejarah keluarga mengenai ketamakan dan pengejaran kekuasaan politik di masa-masa sesudahnya, lahir bersama dia. Untuk memahami keluarga Borgia, sebagaimana terkenalnya keluarga de Borya di Italia, seseorang harus mengetahui tentang patriarch, yaitu orang-orang yang menjadi asal muasal sebuah keluarga yang melampaui kelebihan-kelebihan keluarga-keluarga lain pada suatu zaman, seperti misalnya keluarga Medici, Orsini, Sforza, dan keluarga della Rovere.
Keluarga Borgia mengawali sejarah mereka yang penuh warna dengan nepotisme dan akuisisi kekayaan pribadi, lalu beralih kepada agenda yang lebih rumit tentang pembunuhan-pembunuhan.
a. CALLIXTUS III (1378-1458, Paus dari tahun 1455-1458).
Paus Spanyol pertama, Callixtus III, sudah berusia 77 tahun ketika naik singgasana Petrus di tahun 1455; seorang kandidat kompromistis di antara fraksi-fraksi yang bertikai. Tua, dikuatkan lagi dengan janggut, ia kelihatan sebagai pilihan yang aman dan sementara. Ia memerintah hanya selama tiga tahun, tetapi dalam waktu yang pendek itu ia mampu mengangkat dua kemenakan laki-lakinya menjadi kardinal. Seorang di antaranya, Rodrigo, anak dari adik perempuannya, akhirnya menjadi Paus Spanyol kedua dan terakhir, Alexander VI yang keji.
Callixtus, terlahir sebagai Alfonso de Borya, sudah menjadi Kardinal di Valencia ketika di tahun 1429 Paus Martin V mempromosikannya kepada Bishop Valencia. Kardinal Alfonso yang berhasil mendekati Paus Prancis yang memusuhi kepausan Roma, Clement VIII, untuk menerima otoritas Martin, sepatutnya menerima penghargaan untuk pertolongannya dalam mengakhiri the Great Schism (Perpecahan Akbar) pada Gereja Katolik, di mana dua orang Paus tersebut, satu di Prancis dan satu di Roma, memerintah Gereja.
Sebagai Paus, Callixtus segera mengorganisasi sebuah perang salib untuk membebaskan Constatinopel dari bangsa Turki. Untuk membiayai proyek ini, dia menjual karya-karya seni dari emas dan perak, buku-buku berharga, menjual keikutsertaan atau jabatan –jabatan-jabatan dalam urusan Kardinal, pembatalan-pembatalan dana untuk daerah-daerah kepausan-, dan pembebanan pajak. Dia hanya menuai sedikit sukses dari proyek tersebut, karena kebanyakan penguasa-penguasa Kristen Eropa tidak tertarik dengan alasan-alasan pelaksanaan perang salib itu dan menolak berpartisipasi. Para raja-raja Eropa mendukung perang salib secara prinsip, tetapi tidak dengan kekuatan yang nyata.
Tetapi cara-cara Callixtus yang tidak benar dalam memperoleh uang, nepotismenya yang arogan, dan keputusan-keputusannya yang cenderung kasar melawan orang-orang Yahudi, telah menciptakan oposisi di Perancis, Jerman dan negara asalnya, Spanyol. Ketika dia meninggal, orang-orang Italia mengalihkan kemarahannya kepada jenderal-jenderal dan administrator-administrator Callixtus, dan menceburkan Roma ke dalam teror. Orang-orang Spanyol –yang disebut Catalan- dicaci maki. Hanya kemenakan Callixtus yang pintar, Kardinal Rodrigo Borgia, lolos dari kemarahan massa.
Untuk menunjang keinginannya menciptakan seorang Paus masa depan dalam diri kemenakannya Rodrigo (terpisah dari masa kepausan Callixtus oleh empat orang Paus dan masa 34 tahun), Callixtus juga teringat untuk membatalkan hukuman terhadap Joan of Arc dan mengampuninya dari tuduhan bid’ah, di mana pembatalan itu merupakan konsesi politik untuk mengubah sikap terhadap Gadis dari Orleans (the Maid of Orleans) tersebut.
Secara kebetulan, dia meninggal saat Pesta Transfigurasi (6 Agustus 1458), sebuah hari suci yang dia ciptakan setelah kekalahan bangsa Turki di luar Belgrado. Hari itu tetap merupakan hari suci dalam pandangan Gereja Katolik Roma modern dan the Anglican Communion (Komunitas Anglikan). Dia dimakamkan di Gereja Spanyol di Roma.
Callixtus mungkin bukan seorang pembunuh, tetapi secara politis ia zalim, kejam, tamak, dan dengan berbagai jalan mengatur agenda keturunan Borgia yang akan mengikuti jejaknya.
b. ALEXANDER VI (1431-1503, Paus dari tahun 1492-1503).
Alexander adalah Paus yang terkenal paling buruk dalam sejarah. Dia memimpin sebuah kepausan yang penuh dengan nepotisme, kerakusan, kekejaman, pembunuhan, dan sebagaimana Mc Brien menyebutnya, “unbridled sensuality” (“sensualitas yang tak terkendalikan”). Dia menjadi figur utama dalam saga keluarga Borgia, baik sebagai seorang pemelihara kejahatan, maupun sebagai fasilitator aktivitas-aktivitas kedua anaknya yang paling terkenal, Cesare dan Lucrezia.
Paus Spanyol yang kedua dan yang terakhir ini secara harfiah membeli kepausannya dengan penyuapan-penyuapan. Seperti “pembelian” pemilihan Paus yang disebut “simoniacal”, yang diselesaikan dengan mudah melalui pemungutan suara oleh tujuh belas orang dari dua puluh dua orang Kardinal yang tamak untuk Paus yang baru.
Subscribe to:
Posts (Atom)