Wednesday, October 20, 2010

Belajarlah Dari Orang Yang Lalai

Adz-Dzahabi menceritakan bahwa ketika sakaratul maut menghampiri Abdul Malik bin Marwan, ia mendengar tukang cuci dari samping istananya. Ia pun berkata, “Oh, sekiranya aku tukang cuci biasa … Seandainya ibuku tidak melahirkanku … Seandianya aku tidak menjabat khalifah…”

Sa’id bin Musayyab, tabi’in terkemuka, mengatakan , saat mendengar ini, “Alhamdulillah”, Allah telah membuat mereka lari ke kita di saat meninggal, bukan kita yang lari ke mereka”. Kita berlindung kepada Allah dari kehidupan seperti ini, yang membuat kita lengah dan lalai.

Abdul Malik bin Marwan, sewaktu berhasil mengalahkan para penentangnya dan membunuh Mush’af bin Zubair di Irak, membentangkan mushaf di hari ia diangkat menjadi Khalifah. Ia membaca mush’af tersebut, lalu menutupnya kembali seraya berkata, “Ini adalah kali terakhirku denganmu!” Lalu, komentar Ad-Dzahabi dalam siyar A’laamin – Nurbalaa, “Ya Allah, jangan perdayakan kami”.

Bandingkan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang yang dijamin masuk surga. Ketika sekarat, ia didatangi oleh anak perempuannya yang menangis dekat kepalanya. “Jangan menangis, putriku. Demi Allah, aku ini termasuk penduduk surga!”, ucapnya. Ia benar … beruntung dan berbahagialah Sa’id! Nabi Shallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa Sa’ad termasuk penduduk surga.

Betapa jauh perbedaan orang itu. Betapa jauh perbedaan akhir kehidupan keduanya. Tak dapat dibandingkan antara keduanya.

Muawiyah bin Abi Sufyan, sang khalifah, sedang sekarat. Ia turun dari singgasananya, menyingkap permadani, dan menyapukan debu ke wajahnya. Allah Ta’ala berfirman :

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan merka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan di dunia dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)

Muawiyah melanjutkan, “Aku tidak mempunyai bekal apapun yang lebih ampuh dari Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah”. Muawiyah melanjutkan, “Bila meninggal nanti, kafanilah aku dengan gaun yang kuperoleh dari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. Ada botol di ruangan kantor kekhalifahan berisi kuku dan rambut Rasulullah! Taruhlah kuku dan rambut tersebut pada mata dan hidungku”. Ia lalu pergi menghadap Allah.

Harun Ar-Rasyid, menjelang ajalnya datang, mengadkan parade militer. Ia memandangi tentaranya, berdo’a : “Wahai Yang Kekuasaan-Nya tidak lenyap, rahmatilah orang yang kekuasaannya sirna”.

Al-Watsiq, pemangku jabatan khalifah sesudah Al-Mu’tashim, adalah orang yang kejam tidak kenal ampun. Dialah yang memenggal kepala Ahmad bin Nashr All-Khuza’I, ulama masyhur, salah satu pucuk pimpinan Ahlul Sunnah wal Jama’ah dan termasuk ulama terkemuka, serta penulis kitab al-I’tishaam bil-Kitab was-Sunnah.

Ketika itu beliau menghadap Al-Watsiq. Al-Watsiq menyuruhnya mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Akan tetapi, ia menolak, menentang, dan tidak mau menerima. Al-Watsiq maju dengan sebilah pisau kecil, menusukkannya ke dadanya. Ia menyembelihnya seperti menyembelih kambing.

Kemudian, Al-Watsiq pada saat sekarat, sebagaimana dituturkan oleh As-Suyuthi dalam Taariikhul Khulafa’, begitu mereka membaringkannya setelah ia meninggal dan menyerahkan ruhnya kepada Allah, datangnya seekor tikus yang mengambil kedua matanya dan memakannya!” Peristiwa ini dipelihatkan oleh Allah kepada manusia-manusia diktator di dunia ini.

Thawus, ulama Yaman, datangmenghadap Abu Ja’far al-Mansur.Abu Ja’far adalah oran gyang sangat kejam. Ia telah memenggal kepala para raja, pangeran, dan menteri. Ia dalah seorang paling cerdik. Namun, akhirnya pergi juga menghadap Allah. Seekor lalat selalu hinggap di pucuk hidungnya. Ia mengusirnya, namun lalat itu datang lagi.

“Untuk apa Allah menciptakan lalat, wahai Thawus?”, tanya Abu Ja’far. “Untuk menghinakan kesombongan para tiran”, jawab Thawus. Abu Ja’far terdiam. Lalu ia berkata, “Tolong ambilkan tempat tintat itu”. “Tidak.Demi Allah. Kalau yang akan tuan tulis kebathilan, saya tidak akan membantu tuan untuk sebuah kebathilan”, ujar Thawus, seraya meninggalkan Abu Ja’far Al-Mansur.

Begitulah sikap yang ditampilkan para ulama yang bertakwa dihadapan orang-orang lalai. Ibnu Abi Dzi’b didatangi oleh AlMahdi di Masjid Nabawi. Al-Mahdi adalah seorang Khalifah, putra Abu Ja’far al-Manshur. Orang-orang berdiri, kecuali Ibnu Dzi’b. “Mengapa engkau tidak berdiri menyambut kami seperti yang dilakukan orang-orang?”, tanya Al-Mahdi. Ibn Dzi’b menjawab : “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sebetulnya saya mau berdiri menyambut. Tapi saya teringat firman Allah, “Yaitu pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam”. (Al-Muthafiffin : 6). Karena itulah aku urung berdiri”. “Duduklah! Demi Allah, semua rambut di kepalaku berdiri mendengarnya”, ucap Al-Mahdi.

Abdul Haq al-Isybili menyebutkan bahwa Al-Mu’tashim dijemput kematian. Al-Mu’tashim , penglima militer sekaligus khalifah yang menaklukkan Amuria dengan sembilan puluh ribu prajurit. “Sembilan puluh ribu prajurit bagai singa, kulit mereka matang lebih cepat dari buah tin dan anggur”.

Sebagian para sejarawan mengatakan bahwa ia eprnah meraih lempengan besi lalu menulsikan namanya, karena saking kuatnya. Ia termasuk orang yang paling perkasa. Bahkan seorang ahli hadist berkisah, “Saya menghadap al-Mu’tashim . Ia mengulurkan tangannya kepada saya, lalu berkata, “Aku memintamu, atas nama Allah, untuk menggigit tanganku”. “Saya pun menggigit tangannhya”, lanjut ahli hadist itu. “Demi Allah, gigitanku tidak berbekas pada tangannya”.

Tapi, keperkasaan Al-Mu’tashim itu tidak berdaya saat menghadapi kematian si pemusnah kenikmatan, pemisahkumpulan, dan perampas anak laki-laki dan perempuan. Ajal al-Mu’tashim tiba. “Apakah hari ini aku akan mati?”, tanyanya. “Ya, hari ini Tuan akan mati”, jawab orang-orang. Dia masih sangat muda, baru empat puluh tahun umurnya. Orang mengira ia tidak akan mati sebelum umur tujuh puluh tahun. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. al-Hasyr : 18)

Orang-orang asyik bermaksiat hanya akan sadar saat sekarat. Betapa banyak penceramah menyampaikan! Betapa banyak ulama berbicara! Betapa banyak da’i sudah menyerukan. Namun, sebagian baru menjawab ketika nyawanya sudah meregang di dada. Laa illaaha illallaah. Betapa lalainya manusia. Wallahu’alam.

No comments: