Wednesday, October 20, 2010

Skandal dan Kriminal Paus Borgia [2]

Sikap Amoral Alexander

TERLAHIR sebagai Rodrigo Borgia di dekat Valencia, Spanyol, merupakan kemenakan Callixtus yang membuatnya menjadi seorang Kardinal pada umur dua puluh lima tahun (tahun 1456) dan vice chancellor6 di tahun 1457. Sebagai seorang vice chancellor, ia menimbun kekayaan pribadi yang banyak, menjalani hidup secara terbuka dan tidak pilih-pilih dalam bergaul, serta menjadi bapak bagi tujuh orang anak, baik sewaktu menjadi Kardinal maupun sebagai Paus. Pius II, yang menggantikan Callixtus dan melanjutkan dukungan untuk kenaikan Kardinal Rodrigo Borgia pada hierarki gereja, sudah mengingatkan Kardinal muda ini untuk menahan diri dari kebiasaannya berpartisipasi dalam pesta-pesta orgy. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Paus Pius II, sebagai sesuatu yang “tidak pantas”.

Sebagai seorang anak muda, Rodrigo digambarkan sebagai tinggi dan ganteng. Sigismondo de Conti mengatakan tentangnya sebagai seorang yang tinggi, tegap, dengan tatapan mata yang tajam, sangat ramah, dan “kemampuan yang menakjubkan dalam menangani masalah-masalah keuangan”. Lainnya mengagumi postur tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang kemerah-merahan, matanya yang gelap, dan mulutnya yang penuh.

Bagaimanapun juga, ternyata pada umur awal enam-puluhan ketika dia menjadi Paus, rupanya dia kehilangan pesona fisiknya. Kita hanya memiliki sedikit lukisan yang dapat diidentifikasikan sebagai lukisan diri yang sebenarnya; sebuah lukisan yang menggambarkan seorang Paus yang botak dan gemuk sedang berlutut dan berdoa di depan Kristus.

Ketika menjadi Kardinal, dia mengambil Vannozza de Catanei sebagai gundiknya, yang memberinya empat orang anak, termasuk Cesare (lahir di tahun 1475) dan Lucrezia (lahir di tahun 1480). Saat dia menjadi Paus di tahun 1492, dia membuang Vannozza dan memperoleh Guilia Farnese sebagai gundiknya; seorang wanita muda yang mungkin menjadi ibu atas dua atau tiga anak tambahan dari Alexander. Sebelum Vannozza, Rodrigo sudah menjadi bapak dari paling sedikit dua orang anak hasil hubungannya dengan satu atau lebih wanita yang nama-namanya hilang dari sejarah.

Paus Innocent VIII wafat, dan sebuah perjuangan politik terjadi untuk memperebutkan tahta kepausan. Tawar menawar terjadi sengit, dan ketika suara-suara yang masuk sudah dihitung secara final; Rodrigo Borgia, dengan membeli suara seorang Kardinal yang berumur 96 tahun dan sudah hampir kehilangan seluruh kemampuannya, akhirnya terpilih. Seorang dari enam orang Kardinal yang tidak bisa disuap adalah Giuliano della Rovere, yang tetap menjadi musuh keluarga Borgia dan akhirnya menggantikan Alexander VI sebagai Paus Julius II (ingat lukisan Michelangelo; the Warrior Pope (Paus Pejuang)).

Pada saat perayaan pentahbisan Rodrigo sebagai Paus Alexander VI yang rumit, dia juga “ditetapkan” sebagai seorang laki-laki, karena dari abad ke XIII dan sebagai akibat skandal mitos “Paus Joan”, Paus John yang dipercaya sebenarnya adalah wanita7, Paus terpilih yang baru harus bersedia menjalani “uji kebohongan” pada sebuah tempat duduk rendah dan berlobang (pemeriksa alat kelamin). Kenyataan bahwa Rodrigo, seorang bapak yang subur, mungkin telah menyamarkan jenis kelaminnya, merupakan sebuah pernyataan yang menggelikan pada kenaikannya menuju tahta puncak St. Peter.

Tetapi Rodrigo, sekarang Alexander VI, telah belajar banyak dari pendahulunya, Innocent VIII, Paus pertama yang mengakui secara terbuka anak haramnya dan menampilkan mereka dengan kekayaan dan gelar-gelar. Alexander mengambil keuntungan dari teladan ini.

Sesudah sebuah permulaan yang keras sebagai seorang Paus, yaitu memperbarui Curia8 dan Simony9 –yang tentu saja berarti dia sudah membeli kepausan- Alexander mengkonsentrasikan usahanya kepada minat-minatnya yang utama, yang seperti halnya Innocent VIII, berarti perolehan emas, mengejar wanita-wanita, dan kesenangan-kesenangan keluarganya. Dalam hal ini Alexander telah membuat pendahulunya kelihatan bertaraf amatiran. Dia namakan anak lelakinya Cesare, dan kemudian hanya dalam waktu delapan belas tahun, menjadikannya seorang Kardinal bersama dengan saudara selir Paus yang lebih muda, Alessandro Farnese. Dia merancang tiga buah perkawinan untuk anak perempuannya, Lucrezia, lalu secara cerdas membatalkan perkawinannya yang pertama, dan melalui upaya-upaya Cesare, dengan baik sekali membuat Lucrezia sebagai seorang janda pada perkawinan kedua. Lucrezia seringkali dibiarkan mengisi kelowongan jabatan Paus pada kepausan –yang sebagai akibatnya menjadi perwalian- ketika Alexander pergi dari Roma.

Alexander membentuk persekutuan-persekutuan melalui perkawinan-perkawinan anak-anaknya. Sebagai contoh, dia menghubungkan kekuatannya dengan faksi orang-orang Milan, menggabungkan keluarga-keluarga Borgia dan keluarga Sforza dengan mengawinkan Lucrezia pada Giovanni Sforza, anak haram Constanzo Sforza, sepupu kardinal yang berkuasa, Ascanio Sforza. Dia memperkuat posisinya dengan Kerajaan Aragon dan Naples dengan mengawinkan anak lakinya yang lebih muda, Jofre dengan Sancia dari Aragon, yang kemudian menipu suaminya dan melakukan perzinaan dengan Cesare serta Giovanni, saudara tua Jofre.

Di tahun 1493, Alexander mencoba membuat sebuah garis pemisah (garis demarkasi) di antara lingkungan pengaruh Spanyol dan Portugis pada Dunia Baru (the New World), tetapi ketetapan politik tentang daerah-daerah yang jauh ini dimodifikasi pada tahun 1494, karena pada bentuk awalnya ketetapan tersebut mengistimewakan tanah airnya, Spanyol. Dia juga menyiksa dan mengeksekusi pendeta Florentine terkenal Savonarola pada tahun 1498 yang secara terang-terangan mencela korupsi yang terjadi pada kepausan dan meminta agar Alexander dipecat.

Pada tahun 1500, tingkah laku Alexander –dengan dominasi pengaruh Cesare- makin menjadi-jadi. Perilaku amoral dan pembunuhan menjadi acara harian bagi kedua bapak dan anak tersebut.

Sesaat sesudah merayakan ulang tahun kesebelas kenaikannya ke kepausan, di bulan Agustus 1503, Alexander jatuh sakit. Atas kejadian yang kebetulan ini beredar sebuah rumor di Roma, dimana beberapa orang ahli seperti Mc Brien, percaya dengan kebenarannya. Alexander dan Cesare makan malam dengan Kardinal Adrian Corneto di villanya yang terbaru. Sudah lama dipercaya bahwa keluarga Borgia menargetkan Corneto menjadi korban mereka berikutnya. Tentu saja Corneto berpikir bahwa dia hendak diracun. Waktu hendak minum, dia menyelamatkan dirinya dengan menukar cangkir yang sudah disiapkan oleh Cesare untuknya. Yang tidak disangka-sangka adalah bahwa Alexander dan Cesare minum berdua tanpa beban dari cangkir-cangkir itu. Dalam beberapa hari Cesare sembuh dari keracunannya. Sang ayah masih tetap hidup beberapa hari kemudian dan meninggal pada usia tujuh puluh tahun.

Burchard, pembantu yang setia dan penulis buku harian yang rajin, melaporkan bahwa orang-orang Cesare memaksa masuk ke Vatikan dan merampok seluruh harta yang dapat mereka bawa, dan vandalisme ini berlangsung ketika Paus berjuang untuk tetap hidup.

Begitu Alexander wafat, para pembantunya menjarah kamar tidurnya. Sesudah Burchard menyiapkan mayat tersebut, para penjaga utama mengumpulkan para pendeta untuk menjaga mayat Paus dari kemungkinan penodaan atas kemarahan (atau lebih tepatnya luapan kegirangan) masyarakat Roma. Tetapi akhirnya Burchard mendapati bahwa mayat itu dipindah ke sebuah kapel kecil, dimana mayat tersebut tidak diawasi, perlahan membusuk dalam lembabnya cuaca bulan Agustus yang mencekam Roma.

Ketika Burchard kembali dengan para pembantu hendak menyiapkan si mayat untuk dimakamkan, dia menemukan tubuh Alexander menggelembung dan menghitam, demikian bengkak sehingga tidak muat ke dalam peti matinya. Para pembantu akhirnya melepas korset sang Paus, baru benar-benar berhasil memasukkannya ke dalam peti mati.

“Demikianlah sang Paus Alexander wafat dalam puncak kemuliaan dan kemakmuran. Padanya terdapat, dalam takaran penuh, semua sifat-sifat buruk baik yang sudah terwujud maupun yang masih berupa semangat. Padanya tidak terdapat agama, tidak terdapat kemauan menjaga perkataannya. Dia menjanjikan semua hal secara royal, tetapi membatasi dirinya sendiri terhadap hal-hal yang tidak berguna baginya. Dia tidak peduli dengan hukum, dan karena itu pada masanya Roma menjadi sarang pencuri dan pembunuh. Meskipun begitu, dosa-dosanya tidak mendapat hukuman di dunia ini, dia menjalani hari-hari terakhirnya dengan kondisinya yang amat makmur. Dalam satu kata, dia lebih jahat dan lebih beruntung dari, mungkin, Paus-paus siapapun juga sebelumnya.”

Francesco Guicciardini (sebagaimana dilaporkan dalam Chamberlain).

Kekuatan yang membuat Alexander gila-gilaan itu dapatlah dipahami ketika seseorang melihat keruntuhan total kerajaan Cesare setelah kematian ayahnya.

Tetapi membaca riwayat Cesare pada tulisan berikutnya, ternyata Alexander masih terhitung lunak.

III. CESARE

(1475-1507, Kardinal dari tahun 1493-1498)

Jika ada keluarga Borgia yang diingat saat ini, maka itu adalah kedua anak Alexander VI, dimana orang-orang mengetahui, bahwa hanya dengan kejahatanlah nama-nama mereka dihubungkan. Cesare, sang pembunuh dan petualang, dan Lucrezia, sang peracun. Keterangan-keterangan tentang keduanya menceritakan terlalu banyak tetapi juga terlalu sedikit.


Lukisan “Cesare Borgia” oleh Bembo di Galleria dell Accademia Carrara>>

Sebuah gambaran tentang kekuatan, pesona dan kekejaman Cesare Borgia dapat dilihat pada sebuah lukisan dirinya, mungkin dilukis sekitar tahun 1500 oleh Gianfrancesco Bembo.

Lukisan tersebut tentang seorang laki-laki yang ganteng, tanpa senyum, gelap, mengancam, matanya terletak berjauhan. Seseorang dapat merasakan kebenaran dari komentar Baluze (seorang pengamat kontemporer):

“Paus amat menyayangi putranya, dan juga sangat takut padanya.”

Cesare adalah anak laki-laki tertua dari anak-anak yang lahir akibat hubungan Alexander dan Vannozza de Catanei dalam masa jabatan Alexander sebagai Kardinal Rodrigo Borgia.

Jadi Cesare adalah anak pertama dari keluarga kedua Rodrigo. Kelompok pertama anak-anak haramnya yang diketahui berasal dari satu atau lebih wanita, dimulai oleh Pedro Luis (1462-1488), Duke pertama Gandia, yang naik menguasai duchy10 di Spanyol itu melalui intrik-intrik sang ayah.

<< Lukisan “Vannozza Cattanei” (Hachette)

Di tahun 1480, Paus Sixtus IV membuat sebuah Papal Bull11 yang “membuktikan” bahwa Cesare berasal dari kelahiran yang sah, dan mengijinkannya memperoleh benfices atau pendapatan dari berbagai kantor yang telah ditetapkan oleh Sixtus. Pada umur tujuh tahun Cesare diberi gelar yang memungkinkannya memperoleh prebend12 dari Katedral Valencia, dan sesudah itu dalam waktu singkat dia juga mendapatkan gelar apostolic protonotary atau “orang terkemuka pada Kanselir Kepausan”. Kedua gelar itu memberikan banyak benfices, yaitu gaji-gaji. Di umur sembilan tahun, Cesare menjadi Rector Gandia, Provost13 Albar dan Jativa, dan terakhir sebagai bendaharawan Cartagena. Pengangkatan-pengangkatan ini tentu saja merupakan hadiah yang diberikan atas pengaruh ayahnya, Rodrigo, yang memastikan harta-harta benda kependetaan di Valencia tetap berada didalam kontrol keluarga Borgia.

Cesare mempunyai saudara laki-laki yang lebih muda, anak kedua Vannozza yang bernama Giovanni. Ketika kakak tirinya yang bernama Pedro Luis, Duke pertama Gandia meninggal, Rodrigo menjadikan Giovanni sebagai Duke kedua Gandia. Jadi Rodrigo telah menetapkan Cesare untuk memiliki sebuah karir kependetaan yang memperkokoh pengaruh keluarga Borgia pada Gereja. Giovanni, saudara laki-lakinya yang lebih muda, akan menjadi –sebagaimana akan kita lihat- seorang korban pertama Cesare.

Sebagaimana dijelaskan oleh Cloulas, pendidikan Cesare direncanakan secara hati-hati oleh Rodrigo. Cesare dibawa ke Roma hingga berumur dua belas tahun, dan dididik oleh para guru yang berpengalaman. Kemudian dia dikirim ke Perugia dalam pengawasan seorang guru Valencia yang kemudian menjadi Kardinal, sebagai hadiah untuk jasa tutorial tersebut.

Cesare mempelajari hukum dan humaniora di universitas, kemudian ke Universitas Pisa untuk belajar teologi. Pada akhir pendidikannya ini, ayahnya yang sekarang menjadi Paus Alexander VI, menjadikannya sebagai seorang Kardinal.

Di tahun 1493, sesudah menghadiri sebuah acara makan malam keluarga bersama ibunya, Vannozza dan saudara tuanya, Cesare; Giovanni, Duke Gandia yang kedua menghilang. Dia berkuda hingga petang bersama Cesare, teman-temannya dan para pembantu. Kemudian ditinggalkannya mereka semua, dan berkuda ke arah istana kepausan dengan ditemani oleh seorang pembantu dan seorang misterius dari sebuah festival topeng. Dia tidak pernah kelihatan hidup-hidup lagi. Sore hari berikutnya, ketika mencari Giovanni, para pencari datang dengan seorang saksi yang telah melihat dua orang laki-laki menceburkan sesosok tubuh manusia ke dalam sungai Tiber. Sungai Tiber akhirnya diaduk-aduk oleh sekitar tiga ratus orang pencari, dan sesudah mencari sepanjang malam, tubuh itu ditemukan siang hari berikutnya. Dia tetap memakai pakaian indahnya dengan dompet yang berisi uang tiga puluh ducat, tetapi tenggorokannya digorok dan tubuhnya direjam dengan luka-luka tikaman yang keji.

Begitu mendengar kematian anaknya, Alexander menjadi marah dan berduka, lalu menyatakan bahwa dia telah memutuskan untuk “mengubah kehidupan kita dan mereformasi Gereja. Kita meninggalkan semua bentuk nepotisme. Kita akan mulai mengadakan perubahan pada diri kita sendiri dan diteruskan ke seluruh tingkatan Gereja sampai seluruh pekerjaan selesai.” Seringkali kesungguhan Alexander tidak sesuai dengan pernyataannya, dan akhirnya kembali kepada cara-cara lamanya, mengabaikan janji-janji. Sebagai pendeta, dia tidak lebih siap untuk mengalami perubahan dibandingkan dengan keinginannya meneruskan program-programnya sendiri dalam politik dan kesenangan.

Pembunuh Giovanni tidak ditemukan, tetapi sekitar satu tahun sesudah kematiannya, yaitu sewaktu Cesare menanggalkan jubah kardinalnya untuk memperoleh jabatan duniawi, rumor yang berkembang menyatakan bahwa Cesarelah yang membunuh saudaranya itu. Motifnya menurut dugaan adalah kecemburuan Cesare terhadap sukses duniawi Giovanni, serta keinginannya untuk memperoleh gelar-gelar dan tanda-tanda jasa Giovanni bagi dirinya sendiri. Sebagaimana tampaknya, kecil kemungkinan bahwa Cesare membunuh saudaranya, karena Giovanni mempunyai seorang putra yang bernama Giovanni juga, yang segera menjadi Duke Gandia ketiga. Motif pembunuhan itu kemungkinan adalah balas dendam seorang suami yang cemburu, yang konsisten dengan perilaku seksual keterlaluan para anggota keluarga Borgia.

Sekali ini, keterangan di atas tidak menegaskan peranan Cesare sebagai seorang pembunuh, tetapi perilaku Cesare di kemudian hari membuat sulit bagi penduduk Roma untuk percaya bahwa dia tidak terlibat peristiwa pembunuhan Giovanni. Meskipun begitu, sudah jelas bahwa kematian Giovanni telah melapangkan jalan Cesare untuk menjadi orang biasa sekali lagi, yang memungkinkannya memperoleh pemberian posisi-posisi kebangsawanan yang melebihi tanda-tanda jasa Giovanni dari sang bapak. Keyakinan yang menyatakan bahwa Cesare merupakan pembunuh Giovanni diperlihatkan oleh sejarawan sejamannya yaitu Sanudo dan Guicciardini yang percaya bahwa sebuah pembunuhan Giovanni yang sempurna hanya dapat dilakukan oleh sang pakar intrik, Cesare Borgia.

Pada tahun 1498, Cesare berhasrat meninggalkan dunia kependetaan dan menginginkan sebuah posisi kebangsawanan. Meskipun Cesare masih menjadi Kardinal, Alexander merancang sebuah pernikahan antara Cesare dan Carlotta, anak perempuan Raja Naples. Sebuah penggabungan yang akan menarik para hartawan kota Tarento dengan Carlotta sebagai maskawinnya. Untuk mempercepat negosiasi-negosiasi yang dilakukan, Cesare meninggalkan dunia kependetaan, sebagian besar demi kesenangannya, yang juga membuatnya menjadi Duke Valentois. Raja Naples yang mempunyai ambisi-ambisi lain untuk anaknya, menolak tawaran Paus. Alexander yang tidak merasa terganjal oleh penolakan itu, membentuk sebuah persekutuan dengan raja baru Perancis, Louis XII, yang mengklaim kedua kerajaan Milan dan Naples sebagai warisan leluhurnya. Dalam rangka pembatalan pernikahan Louis, Raja Perancis tersebut akan menjodohkan Cesare dengan seorang putri, yang ternyata adalah Charlotte d’Albert, anak Duke of Guyenne. Mas kawinnya amat besar nilainya, dan pesta pernikahannya dilangsungkan sebagaimana mestinya. Malah menurut pernyataan dalam sebuah surat yang ditulis oleh Cesare kepada bapaknya, pesta pernikahan itu dirayakan dengan sempurna sebanyak delapan kali dalam semalam.

Cesare yang sekarang seorang sekutu Raja Perancis, menjadi seorang jenderal utama Louis XII yang memenangkan pertempuran-pertempuran penting di Romagna, sebuah negara-kota yang berbatasan dengan negara kepausan. Dia memasuki kota Roma dengan penuh kemenangan di bulan Pebruari tahun 1500 dengan menyeret di belakangnya dalam rantai emas, Caterina Sforza, Ratu Dua Kota yang telah dia taklukkan. Caterina dijebloskan ke dalam penjara, dan akan mati jika tidak ditengahi oleh Raja Perancis yang membebaskannya.

Perayaan tahun 1500 mengawali periode kemerosotan moral terbesar Alexander dan Cesare. Cesare menghibur gerombolan orang-orang Roma dengan membunuh lima ekor banteng di alun-alun St. Peter, yang kemudian menjadikannya sebagai seorang pahlawan Roma. Burchard yang setia memberikan beberapa gambaran tentang pesta pora gila-gilaan yang diadakan pada awal-awal bulan di tahun 1500. Bukan hanya gambaran tentang tembakan-tembakan tidak berperasaan yang dilakukan oleh Cesare kepada para pelaku kriminal yang tidak bersenjata (seperti yang telah diceritakan pada bagian Pengantar tulisan ini, pentj.), tetapi Burchard juga memberikan gambaran suatu peristiwa dimana Alexander, Cesare dan Lucrezia menonton dengan penuh kegirangan ketika lima puluh orang pelacur Roma bersetubuh dengan lima puluh orang pembantu istana, berlomba memperebutkan penghargaan-penghargaan sebagai “penampilan terbaik” yang dihadiahkan oleh Alexander. Seorang peminum yang sedang mabuk dipotong tangan dan lidahnya hanya karena menghina Cesare. Seorang Venesia yang menulis sebuah pamflet yang mengkritik Cesare dihukum dengan menenggelamkannya di sungai Tiber. Gregorvarius melaporkan bahwa Cesare, ketika menjawab permohonan-permohonan ampunan para korbannya, mengatakan, “Roma dibiasakan untuk menulis dan berbicara, tetapi aku akan mengajari masyarakat untuk menjadi waspada.”

Tetapi Cesare belum puas dengan hanya mengembalikan Roma ke dalam kancah kemenangan. Hadiah-hadiah hari Perayaan tahun 1500 masuk ke dalam peti uang simpanannya, dan Alexander berbagi dengannya atas sejumlah besar penghasilan yang didapat dari pembentukan sembilan orang Kardinal baru, masing-masing dari mereka telah membayar ribuan ducat. Tetap saja keluarga Borgia belum merasa puas. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh suami kedua Lucrezia, Duke Bisceglie, telah menghilangkan kepercayaan keluarga Borgia kepadanya. Perancis dan Spanyol bersatu menjatuhkan keluarga Bisceglie di Naples. Cesare mencekiknya begitu dia sembuh dari luka-luka akibat serangan pertama antek-antek Cesare. Alexander mungkin sekali tidak ikut merencanakan pembunuhan itu, tetapi inisiatif anaknya tersebut mengijinkannya merancang sebuah perkawinan ketiga bagi Lucrezia.

Setelah kematian Alexander di tahun 1503, Cesare pergi ke Spanyol, dan sekitar tiga tahun sesudah kepergian tersebut, Cesare gugur di Spanyol ketika bertempur dengan gagah berani sebagai seorang prajurit sewaan.

Sesudah beberapa bulan sejak perkawinannya dengan Charlotte di tahun 1498, Cesare tidak pernah melihat istrinya lagi, demikian juga anak perempuannya, Louise. Charlotte tetap setia pada ingatan tentang suaminya. Dia dan Louise kemudian memasuki sebuah biara lalu menjalani kehidupan yang saleh hingga saat kematiannya. Louise kemudian menikah dan mempunyai enam orang anak yang membangkitkan sebuah garis keturunan para prajurit yang berkompeten.

Dua anak haram Cesare, Camilla dan Girolamo, menjalani nasib yang berlainan. Camilla menjadi seorang kepala biara wanita yang sangat dihormati karena kealimannya. Si anak laki-laki, Girolamo, menjadi sebuah karakter yang bengis, kejam dan bertanggung jawab terhadap paling sedikit satu pembunuhan dan kemungkinan beberapa pembunuhan lainnya. Dia mati dan meninggalkan dua orang anak perempuan yang tidak diketahui nasibnya. Kecenderungan Cesare akan pembunuhan rupanya berakhir pada anak laki-laki haramnya.

Anehnya, warisan terakhir Cesare adalah kenyataan bahwa dia dipakai sebagai model karakter “Sang Pangeran” dalam buku terkenal karya Niccolo Machiavelli “The Prince”, seorang pemimpin yang giat berusaha mengembangkan dirinya sendiri semata-mata hanya melalui kekuatan kemauannya sendiri. Ketika kita mendengar kata sifat “Machiavellian”, sekali lagi kita merasakan kehadiran Cesare Borgia.

No comments: